DAFTAR ISI

PANDHAPA

Perempuan di Hadapan Kebudayaan Madura : A. Dardiri Zubairi

ARTIKEL TAMU

Pendidikan Perempuan Dalam Perspektif Budaya : Setya Yuwana Sudikan

ARTIKEL UTAMA

1- Pemberdayaan Perempuan: Belajar Dari Epistemologi kehidupan Sehari-Hari: Ach. Maimun Syamsuddin

2- Titik Balik Pendidikan Islam: Meretas Jalan Peradaban :Lukman Hakim

3- Pendidikan Perempuan Dalam Islam: Antara Norma Dan Realita : Fadhilah Hunaini, S.Ag., M. Fil. I

4- Perempuan Dalam Kemajuan Peradaban : L. Rosida Irmawati

ARTIKEL LEPAS

1- Inferioritas Perempuan Dan Empowerment Politik : DR. Ida Ekawati

2- Pendidikan Berorientasi Global : Mudda’i

KOLOM

1- Kurikulum Kaum Terpenjara :Ilung S. Enha

2- Pemberdayaan, Pendidikan Dan Perempuan: Rusliy KM

 

 

PANDHAPA

Perempuan di Hadapan Kebudayaan Madura

(A. Dardiri Zubairi)


Persoalan perempuan di Madura sampai sekarang masih krusial. Meski di luar Madura gerakan yang menuntut perlakuan lebih adil terhadap perempuan sudah cukup lama, tapi di Madura persoalan perempuan masih belum “digelisahkan”. Kalaupun ada gerakan itu belum menjadi mainstream. Bahkan banyak organisasi perempuan justru menjadi bagian dari yang di(meng)gelisahkan itu.
Melihat perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan kita tidak perlu bertanya seberapa besar peran perempuan Madura di ruang public (public sphere). Kita mulai dari yang lebih “praktis”, misalnya, sudahkah perempuan (usia sekolah) memperoleh hak pendidikannya?
Dalam penelitian pengamat pendidikan nasional, Darmaningtyas, (tidak dipublikasikan, 2002), Angka Partisipasi Murni (APM) untuk pendidikan dasar (terutama SLTP) di Madura sangat rendah. Di Sampang, misalnya, APM untuk tingkat SD rata-rata di atas 90%, tapi untuk tingkat SLTP rata-rata masih di bawah 50%. Di Kabupaten Sumenep APM untuk SLTP mencapai 68,87%. Di banding kabupaten lain Sumenep APMnya memang tertinggi.
Pertanyaannya, dalam angka-angka di atas, seberapa besar APM perempuan? Bisa dipastikan bahwa APM perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sayangnya kita memang tidak memiliki data yang akurat. Tetapi kesaksian kita—terutama di pedesaan—akan banyaknya perempuan yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sudah cukup dijadikan bukti. Salah satu sebabnya karena banyak perempuan dipaksa kawin dalam usia yang masih sangat muda. Masalah ini bukan persoalan sederhana tetapi sebenarnya menjadi masalah kebudayaan.
Menarik membaca hasil penelitian Darmaningtyas tentang harapan orang tua di Madura terhadap anak-anaknya berdasarkan jenis kelamin. Harapan terhadap perempuan, meski ia disekolahkan, tetap bersifat domistifikasi peran, sementara harapan terhadap laki-laki lebih didorong ke peran-peran public atau peran di luar rumah. Selengkapnya bisa dilihat dalam table berikut di bawah ini.
Harapan orang tua terhadap masa depan anak sesuai dengan jenis kelamin

Laki-Laki

Jadi orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya
Bertanggungjawab terhadap keluarga
Penerus perjuangan untuk mengembangkan masyarakat
Bisa meringankan beban orang tua
Menjadi pegawai negeri
Menjadi guru
Menyelesaikan sekolah lalu setelah itu mondok

Perempuan

Berbakti kepada orang tua dan suami
Menjadi ibu rumah tangga yang baik
Menjadi orang yang berakhlak dan berprilaku baik
Menjaga kehormatan pribadi dan keluarga dan patuh kepada suaminya
Menjadi anak yang pandai
Menjadi perawat dan membantu masyarakat

Saya meyakini, harapan di atas hampir menjadi memori kolektif masyarakat Madura yang direproduksi secara terus-menerus ketika “membayangkan” anak perempuannya. Domistifikasi peran perempuan sebenarnya sudah ada sejak dalam pikiran atau dalam “angan-angan social” masyarakat Madura.
Ucapan “jha’ gitenggi asakola, dagghi’ badha e dapor keya” yang dialamatkan bagi perempuan bukan sekedar ucapan yang tidak memiliki efek kuasa apa-apa. Ia sebenarnya pantulan dari kuatnya budaya patriarkhi masyarakat Madura yang menekan perempuan untuk tetap di ruang domistik. Budaya kawin muda dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, termasuk dalam pendidikan, berangkali akan lebih tajam jika dilacak dari sini.
Persoalan lain adalah ekonomi yang menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang mahal bagi kebanyakan masyarakat Madura. Lagi-lagi korban pertama dari persoalan ekonomi ini adalah perempuan. Jalan yang ditempuh adalah menikahkannya dalam usia dini. Jika dinikahkan maka ia sudah bukan lagi menjadi tanggungan keluarga tetapi suami. Kalau pun masih “apolong” (numpang) bersama orangtua, ia (dan suaminya) tetap akan menjadi penyangga ekonomi yang produktif bagi keluarga.
Sayangnya nurani kemanusian dan kebudayaan kita sepertinya tidak terusik terhadap masalah yang menimpa kaum perempuan Madura. Tokoh agama, pemerintah, bahkan organisasi perempuan sendiri tidak memiliki program yang terencana dan terorganisir, apalagi sinergis untuk memerangi budaya kawin muda dan meningkatkan APM perempuan dalam dunia pendidikan.
Sudah waktunya sekarang semua potensi dikerahkan, sebelum terlambat. Kampanye penyadaran tentang bahaya kawin muda—terutama terhadap kesehatan reproduksi dan rendahnya kualitas keturunannya—mungkin bisa diperankan oleh tokoh agama dan organisasi perempuan. Sementara Pemerintah Daerah bisa membuka kemudahan akses bagi perempuan tidak mampu untuk sekolah dengan misalnya, BKM (Bantuan Khusus Murid) diprioritaskan untuk perempuan. Wallahu a’lam

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

Setya Yuwana Sudikan

 

Pendahuluan
Apabila kita mempelajari sejarah Indonesia tampak tampilnya beberapa perempuan sebagai pemimpin negara, misalnya: Sima ratu di Kalingga, Gayatri dan Tribuana Tungga Dewi di Majapahit. Demikian pula dalam dunia pewayangan, kita mengenal tokoh Srikandi, Larasati, dan Sumbadra (ketiganya isteri Arjuna) yang lemah lembut sekaligus berani tampil dalam perang. Dalam mitos Jawa kita mengenal tokoh Kencanawungu ratu di kerajaan Majapahit.
Kehadiran agama Islam di Indonesia semakin memperkuat keyakinan masyarakat terhadap kemampuan perempuan. Muncullah konsep ‘surga ada di telapak kaki Ibu’. Keberadaan kaum perempuan dijunjung tinggi setingkat di atas kaum pria, sebagai wujud penghormatan.
Pada masa kolonial, kaum perempuan tampil di garis depan berjuang bersama-sama kaum pria. Sebut saja Kartini, Tjut Nya Dien, dan Dewi Sartika. Ketiganya tampil sebagai pejuang dengan cara yang berbeda. Kartini melakukan perlawanan melalui surat-suratnya yang ditujukan kepada teman-temannya di negeri Belanda. Tjut Nya Dien berjuang dengan mengangkat senjata di bumi rencong bersama-sama kaum pria. Dewi Sartika di bumi Pasundan melakukan perlawanan terhadap penjajah melalui dunia pendidikan.
Tampilnya tokoh-tokoh perempuan dalam panggung politik tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak dulu ‘mendudukkan’ perempuan sederajat dengan kaum pria. Perbedaan secara biologis tidak menghambat untuk meraih cita-cita, sebab secara kultural perempuan disimbolkan sebagai ‘bumi’ (ingat: ibu pertiwi).

Perempuan: Perspektif Konsep Budaya Jawa
Dalam perspektif budaya Jawa dikenal adanya konsep 3 M (Macak, Masak, dan Manak). Seorang isteri dituntut harus dapat macak (berhias diri) untuk suami, agar betah (lebih suka) tinggal di rumah. Isteri harus pandai masak (memasak) untuk memenuhi selera makan dan minum suami. Demikian juga, isteri dituntut dapat melahirkan anak untuk melanjutkan keturunan.
Kata ‘wanita’ merupakan kerata basa dari ‘wani ditata’ (mau diatur). Perkataan ini mengimplikasikan ‘wanita’ atau ‘isteri’ sebagai kanca wingking (teman di dapur). Hal itu mengandung makna bahwa ‘wanita’ tidak selayaknya tampil di depan sebagai pemimpin. Peran ‘wanita’ dalam budaya Jawa memang selalu tidak mengenakkan, apalagi terkait dengan konsep ‘swarga nunut, neraka katut’ (kebahagiaan dan penderitaan isteri bergantung pada suami).

Barat adalah Barat dan Timur adalah Timur
Ada perbedaan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan Timur. Masyarakat Eropa, Amerika, dan Australia lebih mengandalkan logika, pikiran, dan bersikap individualis. Di pihak lain, masyarakat Asia lebih mengedepankan kedamaian, perasaan, dan sikap kebersamaan. Dalam hal ini, kebudayaan bersifat relatif. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Apa yang berlaku di Eropa, Amerika, dan Australia belum tentu cocok bagi masyarakat Asia, demikian pula sebaliknya.
Oleh sebab itu, pandangan kaum orientalis yang melahirkan teori postkolonialis menolak hegemoni Barat di negeri Timur. Berbagai ideologi yang merasuki sanubari masyarakat bekas jajahan Barat telah melahirkan budaya ‘tidak berdaya’ menghadapi masa depan. Sikap selalu memandang bahwa kejayaan masa lalu harus berulang pada masa yang akan datang, merupakan apologia. Demikian pula, ketidakberdayaan masyarakat Timur menghadapi benturan budaya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku (adat-istiadat ketimuran).

Sistem Pendidikan di Indonesia
Ada dua pola pendidikan yang berakar pada budaya Indonesia, yaitu Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantoro di Yogyakarta dan Sekolah ITN Kayu Tanam di Padangpanjang. Kedua sekolah tersebut tidak hanya mendidik siswanya dengan berbagai ilmu pengetahuan umum, tetapi yang lebih utama menanamkan nilai-nilai luhur (kepribadian) sebagai bekal hidup siswa di masyarakat. Kecakapan hidup (life skills) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari siswa.
Kehadiran pondok pesantren sebagai alternatif pendidikan yang bercorak keislaman telah mewarnai sistem pendidikan di Indonesia. Pemerolehan ilmu pengetahuan agama yang menyatu dengan tempat tinggal siswa (berasrama), semakin mendekatkan siswa dengan guru dan realitas kehidupan di masyarakat. Dalam sistem pendidikan di pesantren, dipisahkan antara tempat tinggal santri pria dengan santri perempuan. Demikian pula dengan tempat pembelajarannya.
Di pihak lain, kehadiran sistem pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendahan. Sistem pendidikan Barat tersebut, membawa konsekuensi lebih menekankan pada aspek pendalaman ilmu pengetahuan umum yang berlandaskan pada logika, sehingga siswa cenderung bersifat individualis. Pendidikan formal ini menjadi dambaan masyarakat Indonesia sejak zaman penjajahan sampai sekarang. Berbagai ideologi Barat ditanamkan kepada siswa. Indikator-indikator keberhasilan pun diatur sedemikian rupa berdasarkan angka-angka yang bersifat matematis. Demikian pula dengan jenjang pendidikan yang ada, sejak pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan formal tersebut melahirkan tradisi ‘gila gelar’. Kesuksesan seseorang diukur dari gelar pendidikan, jabatan, dan kekayaan materiil. Hal-hal yang terkait dengan keluhuran budi, profesionalisme, dan kekayaan batin dikesampingkan. Berbagai cara ditempuh untuk menambah gelar di depan dan belakang namanya, sebagai simbol kesuksesan hidup.

Pendidikan Perempuan: Sebuah Kesadaran
Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sudah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara ini. Pendidikan perempuan ditekankan pada kedudukan dan peran perempuan di rumah tangga (domestik). Penanaman sikap dan perilaku perempuan sebagai sosok seorang ibu, menjadi ‘panutan’ masyarakat. Kehadiran SKKP (Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama) dan SKKA (Sekolah Kepandaian Keputrian Atas) sampai tahun 1980-an menjadi model sistem pendidikan perempuan yang berbudaya. Namun sayang, sekolah-sekolah keputrian di Indonesia dilikuidasi.
Sejak tahun 1980-an dengan berdirinya berbagai perguruan tinggi swasta di tingkat kabupaten dan kecamatan, memungkinkan semua orang di pelosok penjuru Indonesia memperoleh pendidikan yang sama dengan saudara-saudaranya di perkotaan. Pendidikan tinggi bukan monopoli bagi masyarakat yang berasal dari strata sosial menengah ke atas. Demikian pula dengan perbedaan jenis kelamin (baca: gender, secara kultural). Lapangan kerja pun terbuka bagi perempuan, baik sebagai pegawai negeri sipil maupun pegawai swasta di perusahaan-persusahaan.
Ketidaksetaraan gender semakin tipis karena semua jenjang pendidikan dan jurusan/program studi dapat ditempuh baik bagi pria maupun perempuan. Demikian pula dengan bidang pekerjaan: politik, ekonomi, sosial, pertahanan-keamanan tidak membatasi untuk kaum pria saja. Apabila kaum perempuan memilih jenis program studi dan pekerjaan sebagai sekretaris, hal itu adalah pilihan hidup individu.

Simpulan
Dari perspektif budaya, pendidikan perempuan di Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar. Hak-hak kaum perempun dalam memperoleh pendidikan sama dengan kaum pria. Konsep wanita sebagai kanca wingking, swarga nunut neraka katut, dan 3 M (macak, masak, dan manak) sudah tidak berlaku lagi. Perempuan tidak harus bekerja di rumah (domestik), namun dapat bekerja di luar rumah guna meningkatkan karir dan menambah penghasilan keluarga.
Jenis-jenis pekerjaan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan-keamanan dapat dilakukan oleh kaum perempuan. Hanya secara kodrati perempuan memiliki keterbatasan (misalnya: menstruasi, hamil, dan melahirkan anak) tidak dapat dihindari, sebagaimana di Eropa, Amerika, dan Australia. Demikian pula, di Indonesia tidak dapat dibenarkan seorang isteri melaporkan suaminya ke kepolisian karena semalam dipaksa melayani suaminya untuk melakukan hubungan intim.

 

Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN:

Belajar dari Epistemologi Kehidupan Sehari-Hari

Ach. Maimun Syamsuddin

Menerima surat dari Ummi (samaran) tentu saja saya gembira. Seorang teman dekat yang bersyahwat meneruskan studi ke pascasarjana. Gembira karena dia adalah teman dekat. Gembira karena dia berbakat. Menjadi wisudawan terbaik di perguruan tinggi di sebuah pondok pesantren adalah bukti atas kertas, dan seabrek aktivitas akademis dan sosialnya adalah bukti dalam realitas. Segera saya kirim beberapa brosur universitas yang mungkin dimasukinya. Tak lupa saya sisipkan secarik kertas bertulis: “Semoga kamu tidak menjadi korban.”
Saya memang tidak tahu persis seberapa besar semangatnya. Yang jelas semangat itu ada. Tapi menjadi tragis ketika ayahnya tak merestui. Pasalnya, kuliah ke kota hanya akan merusak kepribadian, apalagi perempuan hanya diperlukan untuk peran-peran rumah tangga yang dianggapnya sederhana, tak perlu sekolah sampai pascasarjana. Selesai strata satu saja sudah nyaris sempurna. Dan ia harus menerima keputusan sang ayah untuk menikah dengan tunangannya. Tak ada pilihan lain, ia harus menurut karena memang tak punya daya tawar apa-apa. Modal ekonomi (kuliah mandiri tanpa minta biaya ke orang tua) juga tak mampu mengubah “tangan besi” sang ayah yang sangat dihormatinya.
Kekhawatiran saya yang biasanya salah kali ini benar. Dia menjadi korban karena tidak bisa mewujudkan keinginannya untuk belajar lebih jauh. Dalam hati saya berpikir, dia masih untung bisa kuliah. Warga desa sebelah justru harus menjual kalung dan gelangnya dan kabur dari rumah untuk mondok dan meneruskan pendidikannya ke Aliyah, karena orang tuanya tak setuju ia sekolah lebih tinggi lagi. Masih untung dia bisa kabur. Tetangga teman saya hanya bisa meratap ketika dipaksa kawin dengan seorang duda beranak dua hanya setelah ia lulus Tsanawiyah.
Seandainya Kartini masih hidup, dia akan semakin yakin bahwa perjuangannya masih amat panjang dan berat. Kekuasaan laki-laki begitu perkasa dan dilengkapi berbagai senjata sosial yang begitu tangguh. Mitos, stereotipe, agama, ekonomi dan budaya, bahkan politik semuanya berkelindang membekuk perempuan. Semuanya terajut menjadi argumen yang canggih untuk menindasnya. Bukankah perempuan hanya bertugas melayani segala kebutuhan suami? Bukankah perempuan harus tunduk pada laki-laki? Bukankah perempuan hanya pembawa sial? Bukankah perempuan yang membuat gerak laki-laki menjadi ribet? Bukankah perempuan hanya bisa menangis? Bukankah perempuan hanya perlu mengurus urusan rumah tangga? Dan seterusnya.

Setumpuk Warisan Bernama Perempuan
Kalau mau jujur, cara hidup kita adalah cara hidup patriarkis, cara hidup yang dibangun menurut standar laki-laki. Jalan hidup perempuan arahnya juga ditentukan oleh aturan-aturan yang ditetapkan laki-laki. Ukuran benar-salah dan baik-buruk dirumuskan oleh laki-laki. Kehidupan perempuan bergantung pada penilaian laki-laki, dan perempuan hanya punya satu pilihan: tunduk. Akan tetapi, siapa yang selalu berkoar-koar bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki? Siapa yang memberi penilaian bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh dan “jinak”? Laki-laki.
Dari keseharian juga kita tahu bahwa tugas wajib perempuan adalah mengurus rumah dengan segala yang terkait, seperti mencuci, memasak dan mengurus anak, plus melayani segala kebutuhan suami. Sejak kecil perempuan telah diarahkan untuk mengerti tugas-tugas itu sambil dididik untuk selalu patuh. Karena perempuan yang baik adalah perempuan yang melaksanakan tugasnya dengan baik dan patuh pada kemauan laki-laki. Jika tidak, ia bukan perempuan baik-baik dan akan mendapat sanksi sosial.
Keharusan patuh dengan tugas-tugas yang dibebankan laki-laki diajarkan turun temurun. Tidak hanya dalam keluarga, lembaga-lembaga pendidikan juga turut terlibat dalam pewarisan ajaran tersebut. Mitos-mitos tentang perempuan terus disosialisasikan sehingga menjadi kebenaran, bukan mitos lagi. Antara lain mitos-mitos yang menyertai menstruasi. Hal itu didukung oleh berbagai steriotipe seperti tidak bisa berpikir rasional, lemah akal, cengeng, hanya bisa menangis, pembawa sial dan penyebab kerusakan moral.
Agama sebagai sumber nilai ilahiah juga dilibatkan di sini. Itu terutama terlihat dari pilihan ajaran-ajaran yang menekankan keharusan patuh bagi perempuan serta kapasitasnya sebagai yang terpimpin. Sementara ajaran-ajaran tentang hak yang sama dalam pendidikan dan kiprah di tengah masyarakat serta contoh bagaimana Nabi Muhammad begitu memuliakan perempuan, mengayomi, dan tidak pernah memukul, disingkirkan secara sistematis sehingga tak populer, bahkan kurang disosialisasikan. Beberapa persoalan yang masih menjadi perdebatan tentang perempuan ternyata menjadi kesepakatan umum dalam kehidupan masyarakat. Tentang “penciptaan dari tulang rusuk” misalnya. Ketika para ulama masih berbeda pendapat tentang maknanya, masyarakat justru sepakat dengan kebenaran makna harfiahnya sekaligus menjadikan acuan untuk melegitimasi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai bentuk.
Kita mendapat warisan nilai-nilai yang kita gunakan untuk menilai dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Warisan itu dengan serta merta dianggap kebenaran, bahkan satu-satunya kebenaran sehingga menjadi apa yang disebut R. Geuss dengan “kesadaran palsu” (false consciousness). Karena ia telah menjalani sejarah yang panjang dan ditegaskan berulang-ulang. Kebohongan saja, jika ditegaskan berulang-ulang, kata Adolf Hitler, akan menjadi kebenaran. Kita dibuat bisu oleh tumpukan warisan pandangan tentang perempuan hingga ia menjadi kebenaran otoritatif. Kita hanya akan berkata: “Memang dari dulu sudah begitu.” Kita cenderung hanya mengamini kebiasaan turun temurun. Kita juga cenderung menyalahkan pandangan yang berbeda dari pandangan umum yang diperoleh turun temurun.
Itulah salah satu cara belajar kita, salah satu cara kita memperoleh pengetahuan, yang kemudian menentukan nilai benar-salah dan baik-buruk secara kultural. Kita belajar melalui pembiasaan dan peniruan pandangan. Kita tidak belajar dari bertanya dan mempertanyakan, apalagi berpikir. Karena pandangan umum menganggap kebenaran sebagai barang jadi, yang mutlak dan beku, sehingga harus diterima dan diwariskan lintas generasi. Kita dididik berpikir dengan logika final (final logic), bukan logika efisien (eficient logic) yang sangat mempertimbangkan proses. Maka pengetahuan adalah hasil, bukan proses, sehingga mempertanyakan kembali sebagai proses kreatif untuk memperoleh pengetahuan adalah kesalahan dan tabu.

Disadarkan Oleh Orang Lain
Kalau mau jujur sekali lagi, memang sering sekali terjadi penindasan terhadap perempuan, yang dibenarkan secara kultural, bahkan didukung oleh agama. Apa namanya kalau seorang perempuan terdidik dipaksa kawin tanpa daya tawar sama sekali? Apa namanya jika seorang suami memaksakan hasrat berhubungan seksual tanpa mengerti kondisi istri? Apa namanya jika seorang ayah melarang anak perempuannya sekolah lebih tinggi dan menilai pendidikan tidak penting? Apa namanya jika perempuan tidak didengarkan pendapatnya karena dianggap tidak tahu apa-apa, padahal juga menyangkut kehidupan dirinya? Apa namanya jika sebutan-sebutan negatif dan mitos-mitos jelek dilekatkan pada semua perempuan tanpa kecuali? Apa namanya jika seorang perempuan harus mengurus pekerjaan di rumah, seperti muncuci, memasak, mengurus anak, tetapi masih harus bekerja di sawah membantu suami, sementara sang suami hanya mengurus pekerjaan di sawah? Sewenang-wenang. Tapi laki-laki selalu membenarkan tindakannya dengan alasan keharusan tunduk bagi perempuan sebagai yang terpimpin dan dirinya sebagai pemimpin. Kapasitas itu yang digunakan untuk membenarkan segala kesewenang-wenangan.
Akhir-akhir ini kita disentak oleh gugatan-gugatan atas otoritas laki-laki. Ironisnya, kita tahu dari orang lain: Barat. Karena agama yang kita anut tidak cukup nyaring menyuarakan pembelaan terhadap perempuan yang tertindas. Gerakan feminisme yang menggunakan analisis gender menyeruak dan menyadarkan kita bahwa telah terjadi penindasan atas perempuan, atau sering disebut ketidakadilan gender (gender inequality), yang dibenarkan secara kultural dan diwariskan turun temurun. Otoritas laki-laki ditentang, nilai-nilai kultural digugat, “ajaran agama” dipertanyakan. Semuanya di bawah bendera pembelaan terhadap perempuan dan demi keadilan gender.
Tentu saja responnya beragam. Ada yang jelas setuju dan tidak hanya perempuan, dan ada yang menolak mulai dari yang keras hingga yang lunak. Respon itu juga memperlihatkan cara belajar dan cara memperoleh pengetahuan yang umum pada kehidupan sehari-hari kita. Yang menerima gagasan itu banyak yang hanya memahami permukaan gagasan gerakan feminisme dan isu gender. Umumnya tidak menyadari bahwa semua gagasan mengusung ideologi tertentu --atau lebih tegasnya “kepentingan” tertentu-- yang dibangun dari budaya di tempat kelahirannya. Tak banyak yang cermat melakukan kritik ideologi. Bukan sekedar karena keterbatasan pengetahuan, tapi juga minimnya kemauan belajar lebih baik untuk memperoleh pengetahuan yang lebih utuh.
Penerimaan gagasan itu juga tidak disertai dengan kesadaran pada nilai-nilai yang tidak sepenuhnya universal. Karena nilai-nilai yang dibangun dalam sebuah gagasan jelas memiliki corak kultural yang khas yang belum tentu bisa dengan serta merta diterapkan pada kultur lain. Tempat kelahiran gerakan feniminis dan isu gender adalah masyarakat Barat yang industrial dan liberal. Tentu dalam dataran praksisnya tidak bisa langsung dicangkokkan ke masyarakat agraris-tradisional yang non-industrial. Sebagai sebuah gerakan, feminisme kemudian lebih banyak memasuki wilayah praksis kehidupan masyarakat. Sebagai ciri sebuah gerakan, ia cenderung meninggalkan debat wacana filosofis dan tenggelam dalam kesibukan detail penerapan. Yang menonjol kemudian adalah perlawanan terhadap suami, menggugat tatanan rumah tangga, menentang pemenjaraan perempuan dalam wilayah domistik.
Susahnya, itu yang ditangkap bulat-bulat oleh kalangan yang menolaknya. Gerakan feminisme adalah gerakan pengganggu ketenteraman keluarga, gerakan anti BH, gerakan pencetak perempuan binal dan tak tahu sopan santun. Mereka cenderung hanya melihat permukaan dan sebagian bentuk gerakan untuk menolaknya secara keseluruhan. Penolakan pada praksis gerakan secara otomatis menjadi penolakan terhadap segala nilai dan misi yang hendak dicapai gerakan tersebut. Kita terlalu terbiasa menilai berdasar pengetahuan sekilas, parsial dan pemukaan. Kita tidak terbiasa membaca lebih jauh pada detail dan nilai yang ada di baliknya, karena memang rumit dan butuh ketekunan.
Suatu kelompok menerima feminisme dan isu gender dengan hanya melihat sekilas dari semangat pembelaan atas penindasan, tanpa kemauan melakukan kritik atas ideologi di yang ada baliknya serta mengurai nilai-nilai yang tidak universal karena sarat muatan lokalitas kultural yang spesifik. Tapi kelompok lain menolak berdasar pengetahuan yang serba sekilas dari praksis pembelaan tanpa membaca lebih jauh nilai-nilai luhur yang diusung. Semuanya berpulang pada kebiasaan cara belajar dan mengetahui kita yang cenderung simplistik, tidak kritis, terjebak dalam logika instan serta keterburu-buruan mengambil sikap. Hanya sedikit orang yang cukup punya nyali untuk menyelam lebih dalam, untuk menyingkap tradisinya sendiri yang dianggap benar secara kultural atau mencermati gerakan feminisme dan isu gender sebagai sesuatu yang baru dan datang dari luar.

Fenomena Ambiguitas
Selama ini pemberdayaan perempuan telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Tapi proses pemberdayaan yang dimaksud adalah proses pendidikan yang bertumpu pada loyalitas terhadap otoritas. Kaum perempuan diberdayakan melalui pendidikan untuk semakin terampil melaksanakan tugas yang digariskan secara kultural. Pendidikan yang berjalan lebih menekankan pada upaya mencetak perempuan-perempuan yang patuh pada otoritas laki-laki yang tidak jarang berlindung di balik agama dan nilai-nilai luhur budaya. Karena laki-laki telah menetapkan sejak jaman baheula bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh pada suami, atau ayah dan seterusnya yang semuanya adalah laki-laki.
Pendidikan untuk loyalitas pada otoritas hakikatnya adalah kekerasan untuk melanggengkan suatu tirani. Pendidikan semacam ini bertumpu pada hasil sebagai akibat dari logika final, bahwa pengetahuan harus dijejalkan kepada peserta didik sebagai kebenaran jadi yang tak terbantah. Dalam usaha itulah terdapat pemaksaan kebenaran tunggal yang sudah jadi dan harus dipegang (context of discovery), bukan kebenaran yang harus dicari (context of judgement). Pemegang otoritas kemudian menjadi “tuhan-tuhan” kecil yang memutlakkan suatu kebenaran yang tidak perlu dicari lagi.
Kebiasaan terdidik melalui pencekokan kebenaran sehingga melahirkan kebiasaan pencarian kebenaran instan menggiring kaum perempuan untuk menerima sesuatu yang sekilas terlihat menarik. Saat globalisasi melabrak batas-batas teritorial dan kultural, kaum perempuan cenderung latah dan menerima mentah-mentah pandangan dan budaya luar tersebut. Penerimaan itu terlihat dari tidak kritisnya kaum perempuan atas gerakan feminisme dan isu gender. Mereka ikut-ikutan kritis terhadap tradisi sendiri sebagaimana kritisisme kaum feminis. Padahal sebelum itu, mereka sama sekali tak kritis atas tradisi yang telah tertanam kuat itu.
Fenomena itu tentu tidak sehat. Karena kaum perempuan akan menjadi komunitas yang hanya bisa membeo pada arus pikiran dan budaya lain. Saat muncul ide baru lagi, mereka akan segera meninggalkan gerakan feminisme dan isu gender untuk pindah ke pemikiran yang lebih baru lagi dan seterusnya begitu. Gejala itu terlihat dari ambiguitas kaum perempuan menyikapi berbagai arus budaya dari luar. Di satu sisi memperjuangkan ketertindasan, akan tetapi di sisi lain mereka dengan senang hati mempersilahkan dirinya ditindas oleh hegemoni gaya hidup asing yang disebar melalui media cetak dan elektronik serta didukung oleh tempat belanja. Kaum perempuan hanya bisa ikut-ikutan kritis pada tradisinya sendiri, dan sama sekali tidak kritis dengan budaya-budaya baru yang ada.
Dilihat dari kacamata budaya, pada dasarnya kaum perempuan tidak semakin terbebas dan tidak semakin maju di tengah perkembangan jaman yang konon menuju kemajuan. Jika benar selama ini mereka tertindas, mungkin perjuangan mereka untuk lepas dari kungkungan tradisi akan membuahkan hasil. Tapi mereka hanya keluar dari satu penindasan menuju penindasan lain, yang tidak kalah sadis, kalau tidak bisa dikatakan lebih. Eksploitasi habis-habisan kaum perempuan semakin canggih sehingga perempuan justru merasa terangkat saat ditindas. Mereka sangat menikmati ketertindasan dan merasa telah mencapai kemajuan hidup. Betapa tidak, merekalah pasar besar yang dicekoki habis-habisan oleh berbagai produk, mulai dari pembalut hingga make-up, dari sandal hingga tali rambut, bahkan bentuk tubuh didekte sedemikian rupa melalui kriteria kecantikan. Ujung-ujungnya, untuk memuaskan laki-laki dan keuntungan ekonomi. Di mana kemajuannya?

Dekonstruksi Pandangan atas Budaya
Perempuan benar-benar tertindas. Usaha melepaskannya adalah jalan panjang yang sering memaksa orang putus asa. Menemukan langkah strategis yang efektif untuk pemberdayaannya bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami pada malam hari. Semua komponen masyarakat memang harus saling membahu melakukannya dengan serius. Sulit, jika hanya sebagian yang melakukan sementara yang lain tetap melancarkan penindasan. Akan tetapi, memang selalu begitu dinamika suatu perjuangan. Sebagai salah satu langkah menyikapinya adalah memperbaiki cara berpikir dan cara melihat suatu budaya yang dilanjutkan dengan membentuk pribadi dengan moral yang kuat.
Dari teori dekonstruksi Derrida kita bisa belajar bahwa paradigma dualistik yang membentuk oposisi biner bukanlah gambaran tunggal tentang realitas. Realitas dunia bukan sekedar benar-salah, baik-buruk, hitam-putih, jiwa-raga, Timur-Barat, maju-terbelakang, dan seterusnya. Karena pengkotakan seperti itu hanyalah cara memandang realitas, belum tentu realitas itu sendiri. Dobrakan dekonstruksi Derridean menggugah orang untuk merombak paradigma dualistik tersebut. Dalam konteks tradisi, tidak ada tradisi yang sepenuhnya terbelakang, jelek dan menindas, tanpa sisi baik sama sekali, sebagaimana cara pandang Barat atas Timur, termasuk dalam dunia perempuan. Di sisi lain, tidak ada budaya yang sepenuhnya maju, baik dan egaliter, tanpa sisi buruk yang perlu dikritisi.
Dalam tradisi patriarkis masyarakat agraris tradisional yang menjadi sasaran gugatan gerakan feminisme dan isu gender, jika dikritisi, tentu akan ditemukan nilai-nilai luhur yang telah mampu membangun sebuah tatanan masyarakat dari masa ke masa, setidaknya ia mampu menciptakan kohesi sosial kehidupan bermasyarakat yang banyak dilandasi oleh prinsip harmoni (prinsip pandangan dunia Timur), keseimbangan hak dan kewajiban secara bertanggung jawab. Demikian juga tradisi Barat yang melahirkan gerakan feminisme dan isu gender. Tentu ada sisi-sisi negatif atau kelemahan yang inheren di dalamnya. Yang jelas ia lahir di Barat dengan dasar pandangan dunia yang menyanjung kebebasan (liberalisme) dan penekanan pada eksistensi individu sebagai pusat segalanya (individuasi), bahkan serba perhitungan ekonomis yang cenderung menyingkirkan pengabdian dan ketulusan.
Karena setiap budaya lahir dari gagasan, dan gagasan muncul dari tafsir atas realitas, tentu masing-masing punya keunikan, kelemahan dan kelebihan, yang memerlukan kecermatan dalam memahami dan menggunakannya. Dalam upaya pemberdayaan perempuan di tengah tarik menarik tradisi patriarkis, gerakan feminisme dan isu gender serta gaya hidup budaya pop, langkah yang penting dipertimbangkan adalah membekali cara berpikir dan bersikap perempuan atas semua itu melalui pendidikan, yang tentu tidak hanya di sekolah. Karena pendidikan untuk pemberdayaan bukan sekedar hendak melepaskan perempuan dari penindasan kaum laki-laki dalam masyarakat tradisional-agraris, tapi juga dari segala bentuk eksploitasi modernitas yang lebih canggih serta segala hal yang bisa saja muncul dari perkembangan budaya.

Mengajari Perempuan Memancing
“Lebih baik memberi pancing dari pada memberi ikan”. Pepatah itu layak menjadi dasar pemberdayaan perempuan melalui pendidikan. Jika selama ini perempuan tidak berdaya menghadapi budaya yang menindasnya, semua itu tidak lepas dari kebiasaan pendidikan yang hanya memberi ikan, bukan memberi pancing sekaligus mengajarinya memancing. Perempuan dicekoki pengetahuan, baik oleh tradisi patriarkis atau gerakan feminisme dan isu gender serta gaya hidup budaya pop. Tetapi mereka tak pernah diajari bagaimana cara melihat dan memperoleh pengetahuan untuk kemudian mengolahnya secara kreatif, tanpa harus dicekoki atau bahkan mereka bisa saja menolak pengetahuan yang diberikan karena dinilai tidak benar. Sekali lagi, itu tercermin dari epistemologi kehidupan sehari-hari kita yang mementingkan tujuan, tidak peduli proses, cenderung instan, tidak mau susah-susah dan hanya berkutat pada kulit sehingga cenderung menyederhanakan persoalan. Bahkan lebih jauh, kehidupan sering mendidik kita untuk berpikir monokausal tanpa berani menyingkap kompleksitas persoalan lebih jauh.
Mestinya kita sepakat bahwa semangat harus serempak untuk memberdayakan perempuan, mengakhiri penindasan dan ketidakadilan berdasarkan gender. Tidak ada cara tunggal karena persoalannya memang kompleks. Tetapi jalan melalui pendidikan sangat penting, baik pendidikan formal, informal atau non-formal. Yang penting ditekankan dalam proses pendidikan itu adalah pemberdayaan melalui penanaman sikap kepribadian moral yang kuat yang juga meliputi cara berpikir dan memperoleh pengetahuan. Moral di sini bukan sekedar cara bersopan santun kepada orang lain seperti jamak dipahami. Tetapi lebih pada karakter dan komitmen pribadi yang sadar dan bertanggung jawab pada diri dan orang lain. Jadi, lebih pada kepribadian dan hati nurani. Penanaman kepribadian moral yang kuat dalam mencetak jati diri perempuan yang tangguh menghadapi segala gempuran budaya, baik dari tradisinya sendiri atau dari luar. Beberapa sikap moral yang layak dipertimbangkan tersebut sebagai berikut.
Pertama, kejujuran. Kejujuran yang dimaksud adalah menampilkan apa adanya berdasar suara hatinya sendiri, bukan ikut-ikutan orang lain atau memungkiri sikapnya sendiri. Jujur pada orang lain adalah terbuka dalam arti tampil sebagai diri sendiri sesuai dengan keyakinan, serta fair, dalam arti bersikap terhadap orang lain sesuai dengan standar yang ia harapkan atas orang lain. Untuk itu diperlukan kejujuran atas diri sendiri dengan keberanian menampilkan diri apa adanya. Dengan penanaman sikap ini kaum perempuan diharapkan tidak selalu berpura-pura: pura-pura patuh, pura-pura bergaya hidup modern, pura-pura anti penindasan. Karena kepura-puraan tidak memberikan apa-apa kecuali ketertekanan batin dan kemunafikan.
Kedua, otentik, dalam arti menjadi diri sendiri. Manusia otentik adalah manusia asli, yang tidak dicetak oleh kemauan lingkungan. Perempuan diharapkan tidak tenggelam dalam tradisi karena telah dibiasakan, juga tidak hanyut dalam arus budaya dan pikiran baru karena sekedar ikut-ikutan trend dan terpengaruh provokasi iklan. Perempuan harus bersikap beda dari lingkunganya atau menentang arus jika dirinya merasa tidak cocok. Sikap otentik adalah sikap berdasar kesadarannya sendiri dari suara nurani yang terdalam. Dengan ini parempuan tidak didekte oleh apapun.
Ketiga, kesediaan bertanggung jawab. Sikap ini berarti kesediaan melaksanakan sebaik-baiknya, bukan karena tuntutan dari luar, misalnya karena tuntutan peraturan, pengawasan, rasa takut dan sungkan serta sejenisnya. Sikap ini juga tercermin dalam keseriusan melaksanakan kehendak atau tugas, tanpa rasa malas, asal-asalan dan penuh toleransi pada diri sendiri. Selain itu, sikap ini juga mendorong untuk menerima segala resiko, termasuk dipersalahkan jika salah, dengan penuh kesadaran. Dari sikap ini, apapun sikap yang diambil perempuan terkait dengan budaya, akan diwujudkan dengan penuh tanggung jawab, bukan sekedar ikut-ikutan dan asal-asalan. Ia juga siap menanggung resiko dengan penuh kesadaran batin sekaligus mau memperbaiki segala dampak negatif dari tindakannya.
Keempat, kemandirian moral. Sikap ini merupakan sikap menentukan nilai secara mandiri dan bertindak sesuai dengan penilaiannya. Tidak ada kata ikut arus atau tunduk pada otoritas. Walaupun bukan berarti harus selalu beda. Segala tindakannya karena kesadaran moralnya sendiri, sekalipun harus sama dengan penilaian orang lain, tetapi bukan karena sekedar ikut-ikutan. Bahkan ia berani tidak terjebak dalam nilai-nilai yang didasarkan pada kebiasaan, rutinitas dan praksis sosial yang dinilainya tidak baik. Kaum perempuan penting memiliki sikap ini di tengah perubahan tata nilai yan begitu cepat. Jika tidak, ia hanya akan menjadi bunglon, tidak pernah punya pegangan sendiri, dan akhirnya tidak akan mengerti makna tindakannya sendiri, tidak akan mengerti nilai baik-buruk serta benar-salah.
Kelima, keberanian moral. Jika kemandirian adalah sikap kognitif dan intelektual, maka keberanian lebih pada perwujudan kemandirian. Seseorang akan mewujudkan apa saja yang dinilainya baik dan benar. Setelah menemukan penilaian mandiri, ia juga harus berjuang mewujudkannya dengan keberanian moral. Tanpa itu, kemandirian akan lumpuh, dan tidak bisa menampilkan apa-apa. Keberanian moral menjadi penting ketika nilai-nilai yang didektekan dalam kehidupan perempuan begitu banyak dan beragam, disertai dengan arogansi dan otoritarianisme kultural yang dipasangnya untuk menjerat kaum perempuan dalam kekuasaannya.
Keenam, kerendahan hati. Ia bukan sikap rendah diri, tetapi kesadaran penuh atas keadaan diri, kelebihan, potensi, kekurangan dan keterbatasan dirinya. Dengan kesadaran itu ia akan dapat menempatkan diri secara proporsional, tidak memaksakan hal yang di luar kemampuannya, tetapi akan bekerja sekuat tenaga jika dalam taraf kemampuannya. Demikian juga ia akan terbuka pada pandangan lain karena menyadari bahwa pandangan dirinya tidak sempurna, tetapi sekaligus mempertahankan keyakinan yang diyakininya. Dengan pengertian akan kemampuan diri, kaum perempuan akan selalu berjuang untuk nilai-nilai yang dianggapnya baik. Tetapi mereka tidak congkak dengan tetap terbuka pada pandangan orang untuk diinternalisasi sebagai wujud kesadaran atas keterbatasan dirinya. Ia juga tidak akan pernah memutlakkan suatu pendapat yang diikuti dan juga pendapat dirinya. Karena itu, ia akan toleran.
Ketujuh, realistik dan kritis. Realistik adalah sadar pada kenyataan riil kehidupan. Kesadaran itu dilatari oleh pengetahuan yang mendalam tentang realitas. Karena itu, ia tidak hanya berkutat pada norma-norma ideal yang diajarkan kitab suci atau buku-buku agama. Tetapi ia bisa paham betul terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya sebagai obyektivasi nilai-nilai yang ada dalam pikirannya setelah melalui internalisasi dan kemudian eksternalisasi. Hal ini menjadi penting karena akan membuatnya mampu membumikan idealitas yang selalu mengawang-awang. Keadilan adalah suatu idealitas yang harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata sesuai dengan keadaan masyarakatnya, sehingga tidak memunculkan pemaksaan nilai yang akan berakibat pada kekerasan kultural. Karena pembumian nilai-nilai ideal itu memerlukan proses akulturasi yang tidak sederhana dan sekali jadi.
Akan tetapi kesadaran akan realitas kehidupan tidak mesti membuatnya menyerah pada keadaan. Karena ia harus didukung oleh sikap kritis, dalam arti paham secara cermat akan kelebihan dan kekurangan segala nilai yang ada, termasuk cermat pada kelebihan dan kekurangan dalam kehidupan masyarakatnya. Ia juga selalu kritis terhadap segala nilai dan paham baru, termasuk juga gaya hidup baru.

Wassalam
Kepribadian moral itu menjadi sesuatu yang penting ditanamkan kepada kaum perempuan. Artinya, jika sosialisasi gerakan feminisme dan isu gender yang menggugat tradisi patriarkis karena mengidap unsur penindasan dan ketidakadilan melalui berbagai pelatihan, pendidikan atau pengajaran, maka hal itu harus disertai dengan pengajaran, pendidikan dan pelatihan tentang nilai-nilai tersebut. Ini dimaksudkan agar kaum perempuan yang akan diberdayakan juga bisa mengolah sendiri nilai-nilai yang diberikan. Tidak sekedar diajari menggugat kemapanan serta memahami ketidakadilan yang terjadi. Tetapi mereka juga dibekali perangkat bagaimana menyikapi realitas dan gagasan baru secara lebih bijak dan berdaya. Jika tidak demikian, proyek pemberdayaan hanya akan mengantarkan perempuan pada penindasan baru, penindasan melalui pemahaman baru yang dicekokkan tanpa kemampuan mengolah dan menyikapi dengan sikap moral yang kuat. Yang terjadi hanya pengalihan model penindasan dan akhirnya perempuan tetap tidak akan berdaya.
Penanaman nilai seperti tersebut di atas sudah menyangkut dimensi intelektual dan aktual. Artinya, prinsip moral tersebut mesti memberi bekal kemampuan berpikir dan bertindak secara bijak. Karena pemberdayaan perempuan memasuki wilayah kebudayaan yang tidak hanya berkutat pada wilayah ide, tetapi juga praksis kehidupan. Walaupun demikian, yang sangat penting dari segalanya adalah merombak cara berpikir, cara memperoleh pengetahuan dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya di sekolah, yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan kepribadian bermoral kuat. Dan itu sejatinya tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki yang selama ini banyak melakukan penindasan terhadap perempuan. Maka perlu juga pendidikan laki-laki yang berwawasan keadilan gender. [my moon: 21/02/’05]

Ach. Maimun Syamsuddin, lahir di Sumenep 1975, nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura hingga lulus Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah [STIKA] (1998). Sambil menunggu ujian masuk Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beberapa bulan belajar Bahasa Inggris di BES, BEC dan Mahesa Institute, Pare Kediri. Belajar Filsafat Islam di Program Studi Agama dan Filsafat, Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus awal 2003.
Di samping menulis resensi buku di beberapa harian nasional, juga menulis artikel di jurnal ilmiah, seperti Jurnal Studi Islam (UII Yogyakarta) dan POTENSIA, (Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga) dan majalah Fajar. Di sela-sela kuliah di pascasarjana, sempat menerjemah beberapa buku dari Bahasa Arab dan Inggris. Telah delapan judul (enam judul bersama Abdul Wahid Hasan) dan tiga judul masih dalam proses terbit. Di antaranya Dialog Dengan Ateis, karya Musthafa Mahmud (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Teologi Kemiskinan, karya Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), Merengkuh Cahaya Ilahi, karya Hamd Hasan Raqith (Yogyakarta: Diva Press, 2003), Kerancuan Filsafat, karya al-Ghazali (Yogyakarta: Islamika, 2003), Ada Dengan Sufi? karya Martin Lings (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004).
Saat ini sedang menyelesaikan Program Doktornya di bidang Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan tinggal di Jl. Bimo Kurdo 74 Sapen Yogyakarta, (08179427175) aemku@yahoo.com.

 

 

Back To Daftar Isi

Titik Balik Pendidikan Islam: Meretas Jalan Peradaban

Lukman Hakim

Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation from such shackles. Islam regards all knowledge as critical: ie., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the test of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.
(ALFaruqi; 1987)

Pendahuluan
Mengawali artikel ini, penulis teringat dengan cerita kaisar Jepang yang dikupas oleh En. Hidayat dalam jurnal ini edisi lalu. Dalam tulisannya saudara Hidayat menceritakan bahwa pasca kekalahannya dalam perang dingin yang dilakukan kaisar Jepang bukanlah mengumpulkan sisa panglima perang, melainkan justeru menyuruh mendata jumlah guru yang tersisa1. Sekilas cerita ini memang sangat menggelikan, namun bila ditelaah secara mendalam, ada semacam kesadaran akan makna pendidikan yang sesungguhnya mempunyai kekuatan dahsyat dibanding dengan kekuatan militer. Sungguhpun fasisme Jerman hingga hari ini belum tertandingi kekuatan Nazinya, akan tetapi kejayaannya harus berakhir dengan mengerikan. Lain halnya dengan Jepang, sungguhpun kehancurannya hampir bersamaan dengan kolega fasisnya (Jerman dan Itali), akan tetapi karena keputusan yang tepat dari sang kaisar peradaban Jepang hingga hari ini masih tetap diperhitungkan. Tilikan ini memuat satu peristiwa bahwa ada benang merah tersendiri antara kejayaan suatu peradaban dengan pendidikan. Karena itu, mewakili beberapa kalangan yang meyakini zaman ke emasan Islam sesungguhnya tidak disebabkan oleh kekuatan militernya, akan tetapi ditopang oleh teks-teks keagamaan tentang pendidikan yang banyak kita jumpai di beberapa hadist2 . Sesungguhnya tulisan ini hadir ke tangan pembaca, yaitu bagaimana umat Islam mampu melakukan dekontruksi orientasi pendidikan sehingga langkah-langkah penegakan peradaban Islam akan semakin cepat dilakukan.

Peradaban Islam dan Tantangannya
Anyaman peradaban umat manusia telah melewati lembar sejarah kelima; kejayaan Yunani, keagungan Romawi, kebesaran Persi, keemasan Islam, hingga kecanggihan Barat, telah memberi warna tersendiri pada kanvas peradaban manusia. Sungguhpun keempat peradaban sebelumnya diyakini telah hancur, akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi para pengikutnya; mereka lebih memaknai realitas yang ada sebagai sebuah tantangan untuk meretas jalan keagungan. Persoalannya menjadi semakin kompleks tatkala Barat juga tidak yakin untuk mampu bertahan hidup dalam kejayaannya. Sinyalemen Alvin Tofler dalam “Asia Tiger”, ramalan Huntington dalam “The Clash of Civilization”, menjadi ancaman tersendiri bagi Barat. Langkah adaptif dari tiga periode yang telah dilewati (Imperialisme/Pra Modernism, Modernism, dan Pos Modernism)3 bukanlah sebuah garansi bahwa kebesaran peradaban Barat tidak akan bergeser. Dalam konteks semacam ini tidak berlebihan jika Robert Jastrow–mewakili kejenuhan manusia pada rasionalitas—mengalegasikan:
Bagi Saintis yang beriman pada kekuatan nalar, ceritanya akan berakhir secara menyedihkan. Ia telah mendaki gunung kebodohan dan hampir menaklukkan puncak tertinggi. Namun, begitu melewati batu terakhir, ia melihat lambaian tangan dari kaum teolog yang telah duduk di sana selama berabad-abad
(Robert Jastrow, in the God and the Astronomers)
Di tengah kebingungan Barat untuk mempertahankan kejayaannya Islam muncul sebagai sebuah entitas, agama, dan peradaban yang pernah besar—menurut beberapa pakar—justeru mempunyai peluang lebih untuk memancarkan kecemerlangan cahaya peradabannya. Universalitas ajarannya dan holistisitas konsepnya, menjadi fondasi tersendiri untuk mampu berdiri di atas puncak kejayaan. Karena memang Islam tidak saja berdiri pada posisinya sebagai agama, akan tetapi ia juga berdiri sendiri sebagai suatu ideologi (meminjam istilah Ali Syari’ati; Islam sebagai ideologi), Islam juga bisa dimaknai sebagai sebuah entitas kebudaya tersendiri, ataupun sebagai peradaban yang layak diperhitungkan. Dengan bahasa yang agak sedikit berbeda Ziauddin Sardar4 pernah menggambarkan universalitas ajaran Islam dalam sebuah bukunya:
Gambar I
Bunga Rampai Peradaban Muslim
World View
Tauhid
Epistemologi
Struktur
Sosial Politik
Syariah
Sains
Teknologi
Ekonomi
Lingkungan

Sumber: Bunga Peradaban Ziauddin Sardar

Jika dilihat gambar di atas peradaban Barat yang rasionalis dan materialis sangat berbeda dengan peradaban Islam, karena itu Islam sebagai sebuah peradaban ciri pandangnya adalah suatu pandangan integratif dan terpadu. Ketika pandangan dunia Islam adalah Tauhid, maka Epistemologi Islam dengan sendirinya mengacu pada “Ilm” derevasi dari nilai ini pada dataran praktis adalah melakukan Islamisasi Pengetahuan, yaitu lewat jalan pendidikan Islam. Sungguhpun demikian pendidikan Islam harus melakukan Ishlah / koreksi ulang terhadap paradigma yang ada, dengan melakukan perubahan pandangan hidup dan sistem metafisikanya. Mendayagunakan pemikiran untuk melakukan konsep tekstual normatif atau kontekstual histories, memfungsikan kultural untuk mengadopsi konsep asing yang dianggap mapan, atau berpegang teguh pada ajaran Islam secara apa adanya. Dalam konteks semcam ini tidak berarti kita berpikir dikotomis dan tidak integral, akan tetapi pendekatan yang bersifat holistik (Tauhid). Seperti dijelaskan oleh Al Faruqi (1993), bahwa esensi Peradaban Islam adalah Ajaran Islam, dan esensi dari Ajaran Islam adalah Tauhid5. Pendekatan integral melalui konsep pandangan hidup Islam, yang merujuk pada tradisi intelektual Islam secara kritis dan kreatif. Proyeksi pada pandangan hidup Islam yang dinamis, teratur, rasional, yang dipancarkan dari adanya konsep ilmu pengetahuan, dan pengembangannya dibentuk dari kerangka kerja metafisika Islam yang meliputi pengertian kebenaran dan realitas yang Mutlak / Allah. Disinilah esensi dari ajaran Islam yang holistik dan universal. Tatkala kita melihat kesempurnaan konsepnya, maka tidak ada alasan bagi keemasan peradaban Islam untuk berakhir

Sebab-sebab Kehancuran Peradaban Islam
Paparan-paran di atas seolah memberi spirit tersendiri pada kita untuk kembali melakukan kerja-kerja peradaban yang selama ini bisa dikatakan stagnan. Stagnasi dari langkah peradaban Islam (atau set back menurut makna yang lebih dalam) sesungguhnya disebabkan oleh dua faktor yang menjadikan Islam terpuruk dilorong-lorong peradaban; Pertama, secara ontologis dan ideologis, jelas disebutkan dalam Al Qur’an, janji Allah bahwa umat Islam yang beriman merupakan makhluk yang terpilih. Sebagai muslim - yang telah berikrar secara primordial di fase pra kehidupan, ikrar warisan di fase kelahiran, ketika orang tua kita mengadzani dan iqomah masing-masing di telinga kiri dan kanan kita, serta fase ideologis ketika kita berikrar sebagai kewajiban setiap muslim yang akil baligh – merupakan conditio sine qua non, merupakan certainty condition, sebagai khalifah sekaligus abdullah yang harus mengusung Islam sebagai world view yang melingkupi seluruh dunianya.
Ketika terjadi keraguan pada dataran ontologis dan ideologis, maka yang terjadi adalah pendekatan pandangan dunia kita akan menjadi Antroposentris, dan ukuran yang dipakai adalah nilai materialism dalam memandang dunia. Sehingga yang terjadi kemudian adalah semua turunan dari ideologi ontologis kita menjadi tersekularisasikan, melihat bahwa semua yang berada dalam batas pandangan fisik kita adalah kebenaran, semua yang berada dalam batas subyektifitas kita adalah kebenaran, dan pendekatan yang paling rasional adalah memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang mampu memecahkan masalah alam semesta tanpa bantuan lingkungan dan terutama Realitas Mutlak.
Kedua, secara epistemologis dan aksiologis, lewat fungsi kita sebagai ulil albab, yang bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan berpikir dan bertindak secara religius, rasional dan sekaligus etis untuk membentuk dunia berpikir yang menjadi basic bagi teknologi dan hubungan kemasyarakatan, semuanya mengarah kepada ketundukan Ilahiah. Setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk menuntut ilmu yang mengarah pada kemaslahatan dirinya, lingkungannya, masyarakatnya, dan sampai pada tataran universal. Ketika terjadi keseimbangan dan terintegrasinya tiga bentuk epistemik dunia berpikir kita (religius, rasional dan etis), yang dapat dibuktikan secara empiris, metodologis, maupun subyektif Insya Allah akan terjadi keseimbangan pula dalam alam semesta.
Ketika pandangan epistemologis menjadi antroposentrik, hilanglah keseimbangan religius dalam thymos dan etika kita dalam realitas. Sains dan teknologi kita dikatakan oleh Capra (1997), berpusat pada sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda yang terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan fenomena alam6. Rasionalitas berlebihan, menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap alam, penjajahan manusia atas manusia, sistem pemerintahan demokratis, perekonomian berorientasi pasar bebas, penguasaan ilmu etnosentrik, sistem pendidikan liberal sekuler, semuanya mengarah pada otoritas akal, sistem informasi global bebas nilai . Hasilnya degradasi moral, alienasi manusia dari lingkungan, hancurnya sistem ekologis, perang tiada henti, konsumerisme dan termarginalisasinya masyarakat tanpa materi dari lingkaran kemakmuran yang diduduki hanya oleh sebagian kecil masyarakat atas. Tilikan ini mengingatkan kita pada kesombongan dan Lelucon Nietzche;
Imajinasi-imajinasi historis tidak pernah mengalir terlalu jauh, bahkan dalam sebuah mimpi; karena kini, sejarah manusia hanyalah kelanjutan dari sejarah binatang dan tumbuh-tumbuhan; … Dia berdiri terheran-heran ketika menghadapi cara luar biasa yang dilakukan manusia, dan tatapannya gemetar di hadapan kekuatan yang luar biasa, manusia modern yang dapat melihat semua cara itu ! Dia berdiri dengan bangga pada piramida proses-dunia; dan sementara dia berusaha mengakhiri pengetahuannya, dia seperti berteriak keras kepada Alam yang tengah mendengarkan; “Kami berada di puncak, kami berada di puncak, kami adalah kesempurnaan Alam ini7

Beberapa pola pikir akut di atas tidak saja mewabah di kalangan intelektual dan masyarakat Barat, akan tetapi yang lebih parah adalah bahwa umat Islam juga telah –hingga hari ini—terkontaminasi oleh pola pikir yang sakit itu. Maka mafhumlah kemudian jika Barat hingga hari ini selalu menjadi kiblat intelektual. Karena tanpa kita sadari justeru kitalah yang membuat kiblat tersebut dan menyembahnya tanpa merasa bersalah. Sebagaimana yang pernah saya tulis dalam buku Konspirasi Tingkat Tinggi bahwa kata modern seolah menjadi kata yang membanggakan sebagaimana perasaan kebanggaan tersebut muncul tatkal kita dianggap sebagai manusia modern, padahal modernitas adalah salah satu teori Barat dari trilogi teori mereka (Pra Modernism/Imperialism—Modernism—dan Pos Modernism) yang dipersiapkan untuk menundukkan dunia.

Dekontruksi Pendidikan Meretas Jalan Peradaban
Mengacu pada konsep ‘Ilm’ Sardar, maka pendaran problematika di atas berawal dari rancunya konsep pendidikan yang bahkan pada satu titik mampu menghancurkan tatanan peradaban. Contoh konkrit kegagalan konsep pendidikan dewasa ini tampak, dari sistem dan orientasi belajar siswa di sekolah yang sepenuhnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, (karier, jabatan, kekuasaan,dan uang). State of mind generasi kita di-set up dalam paradigma yang demikian, sehingga out put generasinya pun menjadi serba materialistik, konsumeristik, bahkan tak jarang menjurus ke arah hedonistik. Jika dilacak secara epistemologis, maka mata rantai itu, yang terbungkus rapi dan sistemik dalam sistem pendidikan di Indonesia, justru tak lepas dari konstruksi filsafat pendidikan kita yang lebih menitikberatkan filsafat antroposentrisme ketimbang teosentrisme.
Dikotomisasi pendidikan. Ini tampak, misalnya dari adanya pandangan pendidikan yang begitu dikotomis: satu sisi, ada "pendidikan umum" di bawah Departemen Pendidikan Nasional; di sisi lain ada "pendidikan agama" di bawah Departemen Agama. Seolah dirancang terpisah, fragmentatif, dan dikotomis, maka dualisme itu melahirkan dikotomi baru antara "ilmu umum"di satu sisi dan "ilmu agama" pada sisi lain.
Lebih jauh lagi, dikotomi baru itu mereproduksi dikotomi lebih baru lagi antara "pendidikan modern"(umum) dan "pendidikan tradisional" (agama). Belum lagi persoalan lain muncul tatkala rasionalitas berada pada posisi yang lebih unggul. Semua berada pada konteks positivistik / materialisme. Penelitian diukur dari statistik dan metodologi penelitian yang ilmiah. Secara sosial, terdapat desakralisasi kehidupan beragama. Kemakmuran negara diukur dari Gross Domestic Product (GDP). Kemapanan masyarakat diukur dari kekayaan dan jabatan struktural. Kesehatan diukur dari gizi. Sampai Haji-pun, sekarang telah menjadi ukuran strata sosial, yaitu sebuah kemapanan seseorang diukur ketika telah dapat menunaikan haji. Kepemimpinan diukur dari kemampuan calon presiden, gubernur, walikota dan bupati membayar anggota dewan.
Sistem Pendidikan, misalnya intelektualitas diukur dari strata pendidikan. Kelulusan diukur dari nilai dan materialisasi ujian. Yang terjadi kemudian adalah pergeseran nilai (value), nilai kemapanan ketakwaan, kesalehan tidak mendapat tempat dalam standar – standar kelembagaan sosial, pendidikan, politik, ekonomi kebudayaan. Semua digusur dengan ukuran materialitas tadi. Mafuhmlah kemudian, ketika yang dijadikan sebagai pertimbangan masyarakat adalah yang dapat terukur dan diukur secara matematis, statistik, ekonomis, dan rasional. Dalam kondisi yang demikian kita sebenarnya telah terjebak pada karakter modernitas yang menganggap bahwa segala sesuatu yang dapat diukur itulah yang dapat mewakili segala kondisi yang perlu diperhitungkan dalam masyarakat.
Amerika sebagai sebuah negara, ketika pertimbangannya adalah sebagai negara yang baik dan benar, dilihat dari sudut ukuran, maka menjadi benarlah, bahwa Amerika adalah masyarakat yang makmur, karena GDP nya tinggi. Pendidikannya mapan karena profesor dan doktornya jumlahnya sangat banyak, presidennya adalah yang telah mapan secara ekonomi, dll. Begitu pula Amerika dalam mengukur sebuah peradaban. Peradaban yang mapan adalah peradaban yang mengusung Demokrasi, GDP, Rasionalitas dan Matematis. Bagi Amerika, yang memenuhi standar adalah Amerika sendiri dan negara – negara Eropa plus Jepang, Singapura dan Korea Selatan, yang diamini oleh kita yang telah terkontaminasi ukuran – ukuran tersebut. Sehingga ketika ada peran di luar peradaban yang mapan tersebut, yang mengusung nilai di luar ukuran – ukuran baku peradaban, maka yang terjadi adalah sebuah perlawanan. Contoh kegagalan ukuran adalah Uni Sovyet menjelang keruntuhannya, dan Indonesia sendiri di akhir orde baru.
Berangkat dari kesadaran semacam inilah Al Attas (Daud 2003) mengatakan bahwa;
…tujuan pendidikan bukanlah seperti yang terjadi dalam sistem pendidikan untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, tetapi menciptakan manusia yang baik. Bukanlah sebagai warga negara yang sempurna (complete citizen) tetapi untuk memunculkan Manusia Paripurna, Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al insan al kulliyy)8

Karena itu amat disayangkan jika pendidikan kita justeru diarahkan sebagai bagian dari pabrik negara – nation state, yang harus sesuai dengan karakter Barat, harus mengarah pada evolusi universal dari kapitalisme, lewat sains alam modern dan demokrasi. Yang oleh Fukuyama (2003) disebut sebagai bentuk akhir dari sejarah (the end of history) dan manusia terakhir (the last man) sebuah Sejarah Universal, yaitu Kapitalisme dan Demokrasi Liberal sebagaimana terlihat dalam alegasinya:
Dan Islam memang telah berhasil mengalahkan demokrasi liberal di sebagian besar dunia Islam…Dan sementara hampir satu milyar manusia adalah Islam secara kultural -seperlima dari populasi dunia- mereka tidak dapat menentang demokrasi liberal di wilayahnya sendiri pada tingkat ide. Sesungguhnya, dunia Islam akan tampak lebih mudah diserang oleh ide-ide liberal dalam jangka panjang daripada sebaliknya, karena liberalisme semacam ini telah menarik para pengikut muslim yang banyak dan kuat selama satu setengah abad yang lalu.9
Dalam konteks Fukuyama pembentukan peradaban Barat adalah sebuah proses sejarah panjang yang dilaluinya dengan dua tahap: fase pertama, yaitu Abad 19, dilalui dengan dua cara : (1) Pengembangan sains alam sebagai pionir dari dan harus mengimplementasi ontologi, epistemologi sampai dengan aksiologisnya pada seluruh sains, untuk mewujudkan ekonomi pasar bebas yang mapan dan berakhir pada terwujudnya kesejahteraan. (2) Penyebaran Pemerintahan Demokrasi Liberal untuk menggantikan sistem monarki, otoriter, diktator, militer, fasis, komunis, religius.
Fase kedua, yaitu Abad 20, yang merupakan Penegakan dua karakter utama antroposentrisme Abad 19 di atas. Maka di Abad 21 terjadilah yang dinamakan sebagai The Last History and The Last Man.
Menurut Huntington (2001), bagi Barat, yang menjadi ganjalan utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan mereka.Terutama angkatan muda (14 s/d 24 th) mengalami kenaikan lebih dari 20 %, yang menurut Huntington, usia muda yang berpendidikan menengah akan menjadi kekuatan penting bagi Kebangkitan Islam dan berpengaruh terhadap munculnya militansi, militerisme dan imigrasi. Awal abad 21 lahirlah kebangkitan kekuatan dan kebudayaan non Barat, inilah yang menjadi sebab benturan peradaban non Barat dengan Barat. Antara tahun 1965 sampai 1990, jumlah penduduk dunia meningkat dari 3,3 M --> 5,3 M, kenaikan rata – rata sebesar 1,85 %, di negara Islam > 2 %. Jumlah umat Islam tahun 1980 kurang dari 18 %, pada tahun 2000 akan mencapai 20 % dan tahun 2025 mencapai 30 %, mengalahkan Kristen. Pemeluk agama Kristen tahun 1980 mencapai 30 %, dan akan mengalami penurunan menjadi hanya 25 % pada tahun 2025.10 untuk memperjelas realitas benturan antarperadaban berikut penulis sajikan dalam beberapa tabel di bawah ini:

Tabel I
Populasi Amerika Serikat menurut Ras dan Etnik
1995 2020 2050
Kulit putih non hispanik 74 % 64 % 53 %
Hispanik 10 % 16 % 25 %
Kulit Hitam 12 % 13 % 14 %
Penduduk Asia dan Pasifik 3 % 6 % 8 %
Indian Amerika & Alaska <1 % <1 1 %
Total dalam Jutaan 263 323 394

Kulit Putih (juta) 194,62 206,72 208,82
Asia dan Pasifik (juta) 7,89 19,38 31,52

Tabel II
Bahasa Peradaban

1958 1992 N/T
Bahasa Arab 2,7 % 3,5 % 0,8 %
Bahasa Inggris 9,8 % 7,6 % - 2,2 %
Bahasa Mandarin 5,6 % 15,2 % - 0,4 %

* Sejarah mencatat, penyebaran bahasa merefleksikan penyebaran kekuasaan di dunia. Meningkatnya penyebaran kekuasaan akan berarti meningkatnya penyebaran bahasa. (Huntington, p. 85). Jika kehadiran Cina di masa depan mampu menggantikan posisi Barat sebagai Peradaban yang dominan, bahasa Inggris akan tersisih oleh bahasa Mandarin sebagai lingua franca dunia (Huntington, p. 86)

Tabel III
Agama Peradaban
1900 1970 1980 1985 2000 N/T

Islam 12,4 % 15,3 % 16,5 % 17,1 % 19,2 % 6,8 %
Kristen Barat 26,9 30,6 30,0 29,7 29,9 3,0
Kristen Ortodoks 7,5 3,1 2,8 2,7 2,4 16, 9 %
Non Religius 0,2 15,0 16,4 16,9 17,1 13,7 %
Hindu 12,5 12,8 13,3 13,5 5,7 %
Budhis 7,8 6,4 6,3 6,2 2,5 %
China 23,5 5,9 4,5 3,9 2, 1 %
Kesukuan 6,6 4,6 4,5 4,4 4,2 %

* Sebuah agama universal memiliki keterkaitan dengan munculnya sebuah bahasa universal. Di Cina, karena pengaruh komunis, perubahan dengan non religius sangat drastis. Data tersebut menunjukkan adanya kenaikan jumlah pemeluk dua agam besar yaitu Kristen dan Islam, selama 80 tahun. Selama masa – masa yang panjang, bagaimanapun juga, Muhammad telah menang. Kristen tersebar melalui konversi, sedangkan Islam, disamping konversi, juga melalui “reproduksi”. (Huntington, p89-91)

Tabel IV
Penduduk Dunia yang Berada di Bawah Kontrol Politis Berbagai Peradaban, 1900-2025 (dalam %)
Tahun World Barat Afrika Cina Hindu Islam Jepang Latin Ortodoks Lain
1900 1,6 44,3 0,4 19,3 0,3 4,2 3,5 3,2 8,5 16,3
1920 1,9 48,1 0,7 17,3 0,3 2,4 4,1 4,6 13,9 8,6
1971 3,7 14,4 5,6 22,8 15,2 13,0 2,8 8,4 10,0 5,5
1990 5,3 13,1 9,5 24,0 16,3 13,4 2,2 9,2 6,5 5,1
1995 5,8 13,1 9,5 24,0 16,4 15,9 2,2 9,3 6,1 3,5
2010 7,2 11,5 11,7 22,3 17,1 17,9 1,8 10,3 5,4 2,0
2025 8,5 10,1 14,4 21,0 16,9 19,2 1,5 9,2 4,9 2,8
Sumber data: Ibid

Gambar II
Perkiraan Persaingan antarperadaban tahun 1995 hingga 2025

Jepang Ortodok/Rusia

Afrika Islam

Barat

Sinic/ Cina
Latin
Hindu/India

Keterangan :
Banyak Konflik
Tanpa Konflik

Sumber: Huntington

Dilihat dari beberapa data di atas, seluruh negara Barat akan tetap menjadi salah satu peradaban dunia paling kuat memasuki awal abad 21. Dalam hal ini pada tahun 1920 mencapai puncaknya. Namun sejak itu, secara perlahan tapi pasti, peran tersebut terus mengalami degradasi. Pada tahun 2020, seratus tahun kemudian, Barat – barangkali – hanya memiliki pengaruh terhadap 24 % dari seluruh wilayah dunia (menurun drastis dibanding ketika mencapai puncaknya pada tahun 1920, yaitu sebesar 49 %), 10 % dari seluruh penduduk dunia (turun dari 48 %), dan barangkali 15 – 20% dari seluruh wilayah yang secara sosial telah termobilisasi, 30 % dari seluruh hasil produksi dunia (turun dari 70 %) dan kurang lebih 10 % dari kekuatan militer global (turun dari 45 %)
Dalam konteks kaitan antara peradaban dan pendidikan (P2) perkembangan konsep Pendidikan Islam: “Terlepas dari pengakuan bahwa pendidikan harus merefleksikan cita-cita Islam, tidak satupun usaha yang sungguh-sungguh dilakukan untuk memberikan sumbangsih konkret. Dalam semangat dan prakteknya, anak-anak Pakistan misalnya menerima pendidikan sekuler dan tidak bermoral, sama seperti yang pernah dialami ketika berada di bawah pemerintahan orang asing”11. Dilain pihak Daud juga menegaskan “Pendidikan adalah salah satu sarana terpenting dalam usaha pembangunan SDM dan penanaman nilai – nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban”12. Dari realitas semacam ini, nyatalah bahwa pembangunan peradaban Islam melalui sistem pendidikan Islam adalah sebuah program panjang perjuangan yang bisa diingkludkan dalam program panjang revolusi kultural.
Seperti misalnya yang dulu pernah dipelopori Sardar dengan mengadakan Konferensi Dunia I mengenai Pendidikan Islam tahun 1977 di Mekkah, yang dilanjutkan dalam Konferensi Dunia II tahun 1980 di Islamabad, Pakistan tahun 1980. Kesimpulan Konferensi salah satunya muncul dalam Tujuan Pendidikan Islam, yaitu menciptakan manusia yang baik dan bertakwa yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktivitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. (A. Fatih, p. 3). Hal ini relevan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Al Faruqi (1987) dalam upaya melakukan Islamisasi Pengetahuan:
Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation from such shackles. Islam regards all knowledge as critical: ie., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the test of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.13
Keadaan seperti yang dijelaskan dimuka, seperti model peradaban fukuyama dan benturan peradaban huntington, membuat umat Islam perlu melakukan perubahan internal dalam upaya memperkecil jurang pemisah antara umat Islam dan orang – orang Barat. Persoalan utama yang menimbulkan keadaan di atas di seputar muatan pendidikan. Persoalan ini bersumber dari kekeliruan (confusion) mengenai hakekat dan lingkup ilmu pengetahuan, juga kekeliruan mengenai makna agama, key term, dan aspek Islam, serta kekeliruan mengenai jiwa, sains dan institusi – institusi peradaban lainnya, khususnya Barat. Karena itu menurut Al Attas yang paling penting adalah bagaimana bisa keluar dari belenggu ini melalui proses pendidikan. Secara spesifik, Al Attas menjelaskan, sebelum masuk pada tataran tujuan dan kurikulum pendidikan, maka yang harus dilakukan adalah mengembangkan konsepsi metafisika, yang berkaitan dengan hakekat Realitas Mutlak.
Dalam Islam, metafisika – yang di dalamnya termasuk pembahasan teologis, berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan Doktrin Sufi, merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan konsepsi dasar umat mengenai alam jagat raya, psikologi, epistemologi, etika bahkan logika. Sikap meremehkan metafisika, tentunya sangat kebarat-baratan, secara moral bukanlah sikap yang jujur dan secara rasional tidak dapat dibenarkan. Sebab, makna literal istilah metafisika meliputi semua persoalan pokok yang relevan dengan filsafat pendidikan. Konsep ini oleh Attas didasarkan pada Ta’dib, sebab baginya masalah mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai – nilai adab dalam arti luas. Konsep ta’dib yang diterapkan secara komprehensif, integral dan sistematis dalam praktek pendidikan Islam, maka permasalahan pengembangan SDM muslim akan dapat teratasi. Lagipula dalam sejarah Islam proses pendidikan lebih cenderung pada pengertian ta’dib daripada tarbiyah atau ta’lim.

Catatan Akhir
Aspek penting dalam tulisan ini sesungguhnya mengarah pada pembentukan adab, yaitu sebuah metode yang kini banyak dilupakan oleh umat Islam. Padahal ilmu tidak akan diajarkan atau ditularkan kepada anak didik kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam perbagai bidang. Untuk penanaman nilai spritual, ditekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain (keimanan dan kewajiban individu) yang integral. Disini, sumber pengetahuan inderawi / ‘aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berpikir yang integral, sehingga seorang muslim tidak lagi terperosok dalam cara berpikir dualistis, obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis.
Brkaitan dengan hal ini, melalui penelitian panjang Al Attas sampai pada satu kesimpulan bahwa; pendidikan bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya adalah untuk menciptakan manusia yang baik, atau manusia yang paripurna”14. Dari statement tersebut dapat dilihat bahwa tetkala kata ‘baik’ diberi garis tebal maka akan menghasilkan makna adab yang menyeluruh, meliputi kehidupan spritual dan material sesorang yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya, yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab. Pendidikan adalah penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang, ini yang disebut ta’dib. Mengarah pada Muhammad sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Sebenarnya Al Attas mengajukan konsep Ta’dib ini adalah untuk memangkas konotasi yang telah terkerangkakan dalam bentuk dualisme / dua terminologi pendidikan yaitu al-ta’lim wal al-tarbiyah. Yaitu tarbiyah sebagai pendidikan moral / pengajaran dan ta’lim sebagai transformasi pengetahuan ilmiah / pelajaran. Pengertian tersebut telah rancu (confuse) dengan konsep pendidikan Barat modern.
Apa yang dikemukakan Al Attas -juga sebelumnya yang ditegaskan oleh Nasser, Sardar dan Al Faruqi- di atas adalah salah satu contoh bahwa, Islam mempunyai kekuatan peradaban yang sangat dahsyat tatkala mampu keluar dari belenggu peradaban barat. Karena itu usaha-usaha dekontruksi sistem15 pendidikan merupakan kebutuhan mendesak yang harus dilakukan.

Daftar Pustaka

Al Faruqi, Ismail Raji, Lois Lamya’ al Faruqi. (1986). The Essence of Islamic Islamic ____Civilization. Terjemahan Indonesia dan disadur oleh Choirul Fuad Yusuf dari ____buku The Cultural Atlas of Islam, Macmillan Publishing Company, New York, ____1986. Jurnal Ulumul Qur’am Edisi 1/VII/96
Capra. Fritjof, 1997, The Turning Point; Science Society and The Rising Culture, dalam; ____Toyyibi M., Titik Balik Peradaban; Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, ____Bentang, Yogyakarta
Dwi Qurbani. Indah dan Hakim. Lukman, 2005, Konspirasi Tingkat Tinggi, Menyingkap ____Selubung Kapitalisasi Migas, Pararaton Press, Malang.
Fukuyama, Francis. 2003. The End of History and The Last Man, Kemenangan ____Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Edisi Bahasa Indonesia. Penerbit Qalam
Fatih, A. Tantangan Pendidikan di Era Globalisasi. Milis Nasional Ppi India.
Huntington. P. Samuel, The Clash of Civilization, Remaking of The New World Order, edisi ____Bahasa Indonesia penerbit Qolam
Hakim. Lukman, 2003, Revolusi Sistemik Solusi Stagnasi Reformasi dalam Bingkai Sosialisme ____Relegius, Kreasi Wacana, Jogjakarta
Hakim.Lukman, Yuanda Kusuma, dan Robith Muhajir, 2004, Syariah Sosial, Menuju ____Revolusi, UMM Press, Malang
Hdayat. En, Pimpinan Pendidikan, Edukasi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, ____Nomor 1 Tahun 2004
Makhfudot kelas 2 KMI Pondok Modern Gontor Ponorogo
Nietzche dalam The Use and Abuse of Hostory halaman takterlacak
Wan Mohd Nor Wan , 2000, Quraisy Education in Pakistan
Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-____Attas. Edisi Bahasa Indonesia. Penerbit Mizan

 

 

Back To Daftar Isi

PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM:
Antara Norma Dan Realita

Oleh: Fadhilah Hunaini, S.Ag., M. Fil. I

Pendahuluan
Secara konseptual, tidak ada persoalan yang layak diperdebatkan tentang makna penting pendidikan bagi kehidupan manusia. Karena pada hakikatnya pendidikan mencakup proses; hominisasi, yaitu proses menjadikan seseorang sebagai manusia; dan humanisasi, yaitu proses pengembangan kemanusiaan yang bukan secara instinktif saja. Dengan demikian, tujuan utama pendidikan, pertama, sebagai realisasi diri, yaitu kebutuhan dan keinginan individu untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik, mampu memberi pengetahuan dan keterampilan bagi individu agar bisa memiliki SDM yang produktif; kedua, sebagai kegiatan sosial (kolektif) ditujukan pada perwujudan nilai-nilai sosial atau cita-cita sosial.
Dalam keterkaitan ini, pendidikan menjadi sesuatu yang sangat inheren dalam kehidupan riil manusia. Pendidikan dengan begitu, menjadi kunci substansial dalam mewujudkan peran diri secara optimal. Dalam konteks inilah, harus diakui mengapa posisi dan peran perempuan sampai hari ini belum maksimal dan optimal. Permasalahan mendasar yang menyebabkan kondisi seperti ini ternyata karena potensi dan kemampuan kaum perempuan sampai hari ini belum berwujud dan melembaga. Sumber daya kaum wanita masih relatif sangat terbatas. Hal itu terjadi, karena kaum wanita belum mampu menjelma menjadikan dirinya sebagai individu yang memiliki sumber daya manusia dengan kualitas yang teruji.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya manusia. Meningkatkan kulitas sumber daya kaum perempuan hanya bisa dilakukan melalui proses penyadaran bahwa mereka harus berpendidikan supaya merasa sejajar dengan kaum laki-laki dalam hal kemampuan dan keterlibatan peran.
Secara kultural, diakui atau tidak, umumnya perempuan tidak memiliki keberdayaan di sektor pendidikan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Pemerataan kesempatan (equality of opportunity), aksebilitas dalam memperoleh pendidikan baik pada jenis, jenjang dan jalur pendidikan terutama jalur formal masih secara kuantitatif lebih banyak dinikmati laki-laki.
Kenyataan di atas justru banyak di jumpai di negara-negara yang masyarakatnya adalah masyarakat muslim, padahal Islam merupakan agama yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, persoalan bagaimana pandangan Islam secara normatif terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan hal yang perlu dikaji ulang.

Perempuan dalam Perspektif Pendidikan
Masalah diskriminasi terhadap kaum perempuan merupakan masalah yang kerapkali terjadi hampir di segala kelompok masyarakat, yang ada di belahan dunia. Alasannya jelas: selama ribuan tahun perempuan terus menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam setiap masyarakat yang masih belum mampu melepaskan diri dari jebakan hegemoni tradisi patriarkhal. Hal ini terjadi karena kebanyakan masyarakat di dunia ini adalah masyarakat patriarkhal yang melihat laki-laki sebagai makhluk superioritas dan perempuan tidak lebih sebagai makhluk inferioritas. Demikianlah, selama berabad-abad “hukum alam” ini seakan telah menetapkan bahwa poisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan harus tunduk kepada kekuasaan mereka.
Diskriminasi jenis kelamin semacam ini tumbuh dalam sistem budaya yang tidak egaliter. Realitas keterbelakangan dan kebodohan kaum perempuan menjadi sebab utama terjadinya perlakuan diskriminatif yang tidak memihak dan berpihak. Karenanya, salah satu kata kunci untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan pendidikan. Sebab, pada hakikatnya pendidikan merupakan proses pencerahan manusia dari kebutaan berpikir.
Pendidikan, dalam prosesnya bisa menjadi “praktek kebebasan”, yakni sarana dengan apa manusia berurusan secara kritis dan kreatif dengan realitas, serta menemukan bagaimana cara berperan serta untuk mengubah dunia mereka. Oleh karena itu, jika perempuan diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapatkan pendidikan diharapkan mereka mampu mengembangkan potensi mereka juga mengembangkan kesadaran akan realitas sosial dan budaya yang selama ini banyak menindas hak-hak mereka. Dengan demikian, kondisi yang seringkali merugikan kaum perempuan secara bertahap bisa dirubah, sebagaimana yang tertuang dalam The Beijing Declaration and the Platform for Action, 1996 (Gender, Education and Development, International Centre of the ILO):
“Pendidikan merupakan hak Asasi manusia dan merupakan alat penting bagi pencapaian kesetaraan, perkembangan, dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan sangat menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dewasa.”
Luasnya kesempatan setiap individu dalam mengenyam pendidikan dan pengajaran baik formal maupun non formal, berpengaruh pada keluasan cakrawala dan pola berpikirnya, yang pada giliranya akan memungkinkan munculnya gagasan-gagasan baru untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Pentingnya pendidikan bagi perempuan juga berkaitan erat dengan peran penting mereka dalam peningkatan kualitas generasi muda. Dalam hal ini diperlukan adanya peningkatan kesadaran pada seorang ibu terhadap tanggung jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan utama.
Merupakan sesuatu yang kodrati bahwa perempuanlah yang melahirkan anak, membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat, dan kodratnya, kaum perempuan mempunyai peran yang sangat besar dan menentukan. Merekalah yang membentuk, menentukan, dan memberi “warna” kualitas generasi muda bangsa. Karena itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa, berada di tangan perempuanlah kualitas generasi muda dan penerus cita-cita perjuangan itu ditentukan.

Pendidikan Perempuan di dunia Muslim
Di negara–negara yang mayoritas muslim seperti negara-negara Arab, kelihatan jelas terjadinya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan sebagaimana tergambar dalam data statistik mengenai perempuan di dunia Arab. Di lihat dari jumlahnya, perempuan masih tertinggal dari laki-laki, baik dalam tingkat pendidikan dasar maupun tingkat menengah. Di Mesir, pada tahun 1990, misalnya, terdapat 76 perempuan dalam setiap 100 laki-laki pada tingkat pendidikan menengah. Di Tunisia, perbandingan jumlahnya adalah 77; dan di Maroko jumlahnya 69. Ketimpangan ini juga bisa dilihat dalam Pendidikan tingkat dasar: 80 perempuan dalam setiap 100 laki-laki di Mesir, 87 di Syiria, 66 di Maroko. Sedangkan di Saudi Arabia jumlahnya adalah 84. Hal tersebut menjelaskan dengan jujur bahwa semua jumlah tersebut menunjukkan sebuah tanda perbaikan dari apa yang menjadi masalah pada duapuluh tahun sebelumnnya. Meskipun demikian, perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan yang bersekolah masih demikian mencolok.
Perempuan juga mengalami ketidakseimbangan dalam hal pemberantasan buta huruf. Rata-tara, tingkat buta huruf pada wanita dewasa di tahun 1990 di Kuwait adalah 33 persen, dan 51 persen di Iraq dan Libya. Di somalia jumlahnya mencapai 86 persen.
Di Indonesia yang penduduknya merupakan pemeluk Islam terbesar di seluruh dunia, ketimpangan jumlah antara laki-laki dan perempuan terlihat di semua tingkat pendidikan. Data statistik Indonesia tahun 1993 menunjukkan bahwa dari setiap 100 perempuan 47-nya tidak pernah bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar, sedangkan dari 100 pria 37-nya. Ratio tingkat gender parity (keseimbangan gender) hampir mencapai prosentase seimbang ketika pada tingkat dasar 49.18: 50.83 (laki-perempuan) namun semakin rendah bagi perempuan ketika ke jenjang lebih tinggi.
Dalam hal pengambilan kebijakan di tingkat pendidikan pun, secara kuantitatif perempuan masih senantiasa berada di bawah laki-laki. Misalnya, sebuah contoh kasus di tingkat universitas di Lebanon, di Universitas Amerika, Beirut (AUB). Tidak ada seorang perempuanpun yang menduduki jabatan dekan, pengambil keputusan tertinggi di AUB, di mana kira-kira 30 persen pengajarnya adalah perempuan.
Selain itu, dari 23 guru besar di Fakultas Seni dan Sains di AUB, hanya 1 orang perempuan. Dari 25 lektor kepala, hanya 2 di antaranya yang perempuan. Jumlah tersebut berubah secara dramatis di tingkat yang lebih rendah. Dari 56 lektor, 19 di antaranya adalah perempuan, dan dari 59 instruktur, 37 orang adalah perempuan. Fakultas-fakultas lain kebanyakan juga menunjukkan ketimpangan yang serupa.

Pendidikan Perempuan dalam Islam: Perspektif Normatif
Bagaimanakah hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dalam pandangan Islam, hal ini bisa ditinjau secara umum dari kedudukan dan hak-hak perempuan dalam Islam. Islam menekankan persamaan hakiki dan mendasar antara laki-laki dan perempuan dan hak yang sama dalam semua bidang yang menentukan, termasuk dalam pendidikan.
Di saat semua peradaban, baik Yunani, Romawi, Cina, India, dan Persia dengan tingkat kebudayaannya yang tinggi memperlakukan perempuan hanya sebagai harta benda yang tidak memiliki hak apa pun, Islam justru memberikan kedudukan yang tinggi pada perempuan.
Pada zaman sebelum Islam, perempuan bangsa Arab berada pada posisi yang sangat rendah dalam masyarakatnya. Mereka tidak hanya rendah secara sosial, tetapi juga diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Bahkan setelah mewarisi istri ayahnya, seorang laki-laki dapat mengawininya. Menurut Maulana Muhammad Ali, “Di kalangan masyarakt Arab pra Islam, apabila seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya mempunyai hak untuk memiliki janda atau janda-jandanya, mengawini mereka jika mereka suka, tanpa memberikan mas kawin, atau mengawinkannya dengan orang lain, atau melarang mereka kawin sama sekali”.
Memiliki anak perempuan adalah hal yang sangat memalukan dan menurunkan kehormatan sehingga banyak yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Motifnya ada dua: ketakutan jika pertambahan keturunan perempuan akan menimbulkan beban ekonomi, dan juga ketakutan akan kehinaan yang seringkali disebabkan karena para gadis yang ditawan oleh suku musuh dan selanjutnya menimbulkan kebanggaan penculiknya di hadapan orang tua dan saudara laki-lakinya.
Jadi, sebelum Islam, wanita tidak memperoleh hak-hak menurut undang-undang dan tidak dapat kedudukan dalam masyarakat sebagaimana yang sewajarnya diberikan kepada mereka dan seharusnya diakui oleh masyarakat. Wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, wanita harus tinggal di rumah saja dan tidak mempunyai andil dalam kehidupan masyarakat. Wanita tidak diberikan kebebasan dalam segala urusan, mereka tidak diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan dan tidak mendapat perlindungan untuk memperoleh hak-haknya.
Setelah Islam, hal ihwal kaum wanita menjadi baik dan menggembirakan. Islam mengangkat martabat kaun wanita dan memberikan hak-hak yang telah hancur luluh oleh tradisi-tradisi, fanatisme golongan dan kebangsaan. Kepada kaum wanita diberikan peran yang amat besar, yang belum pernah diberikan oleh agama-agama sebelumnya, bahkan oleh undang-undang mana pun. Norma-norma Islam yang menyangkut kedudukan wanita adalah perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Al-Qur’an, sebagai sumber ajaran Islam, merupakan sumber ajaran yang banyak sekali mencurahkan perhatian terhadap kedudukan perempuan. Al-Qur’an-lah yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di saat budaya Arab pra Islam begitu merendahkan posisi perempuan sehingga pembunuhan terhadap anak perempuan menjadi realitas yang hatus diterima secara wajar. Al-Qur’an juga memberikan hak-hak pada kaum perempuan pada abad ke-7, hal yang tidak bisa diperoleh perempuan Barat hingga baru-baru ini saja.
Perempuan muslim, misalnya, menikmati kemandirian hukum secara penuh sehingga bisa memiliki dan mengatur harta kekayaan mereka sendiri, bisa menceraikan suami dengan alasan-alasan yang sangat liberal. Di masa pemerintahan Nabi, perempuan memperoleh banyak sekali kebebasan, semisal dalam keluarga, hak-hak yang diberikan Islam memungkinkan mereka melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Mereka juga boleh ikut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan dan keagamaan di atas dasar yang kurang lebih setara dengan laki-laki.
Salah satu aspek ide persamaan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersumber pada ajaran bahwa seluruh manusia berasal dari pertemuan laki-laki dan perempuan. Dalam surah An-Nisa’ ayat 1 disebutkan:
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”

Seorang ilmuwan yang merenungkan ayat ini menyatakan:
“ Hal yang patut diyakini adalah bahwa tidak ada sebuah teks, lama ataupun baru, yang berhubungan dengan kemanusiaan seorang perempuan dari seluruh aspeknya dengan keberanian, kefasihan, kedalaman dan kemurnian yg demikian mengagumkan sebagaimana pernyataan dalam ayat ini.”

Ayat Al-Qur’an itu mengajarkan kesetaraan manusia, termasuk kesetaraan jenis kelamin dan meniadakan semua ketimpangan yang berasal dari perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, kebangsaan, kasta atau kesukuan; karena seluruh manusia pada akhirnya berasal dari satu sumber.
Masih ada sejumlah ayat lain yang menerangkan dengan jelas bahwa mengenai pembangunan moral dan spiritual, laki-laki dan perempuan berada pada tingkat kesetaraan yang sama. Dalam menyeru orang-orang Mukmin, Al-Qur’an seringkali menggunakan pernyataan “laki-laki dan perempuan yang beriman” untuk menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kewajiban, hak, kebajikan dan kesalehan masing-masing (QS:33:35).
Tentang kewajiban agama Al-Qur’an mengakui bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia sama dalam banyak aspek, dan oleh karena itu kedudukan dan status mereka juga sama dalam pandangan Tuhan (QS:16:97).
Jika perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban yang sama dalam hal shalat, membayar zakat pada fakir miskin, dan amar makruf nahi munkar, maka adalah hal yang niscaya bahwa mereka seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan. Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa mengangkat suara melawan kebijakan-kebijakan ekonomi yang merusak atau membela perubahan-perubahan ekonomi yang bermanfaat, ikut serta dalam politik yang baik atau mencegah politik yang buruk, jika dia tidak siap secara mental dan spiritual terhadap kewajiban agama yang tertinggi tersebut.
Hal yang juga patut diingat adalah bahwa Islam tidak membuat perbedaan antara kewajiban duniawi dan kewajiban agama. Menurut ajaran Islam, semua kewajiban, baik menyangkut politik, ekonomi atau kesejahteraan sosial secara umum, merupakan kewajiban-kewajiban agama, tidak ada bedanya dengan shalat, puasa, dan organisasi bantuan sosial. Dengan mudah bisa disimpulkan dari ayat tersebut bahwa lak-laki dan perempuan seharusnya berada dalam kedudukan yang setara, khususnya dalam bidang pendidikan. Nabi Muhammad S.A.W bersabda “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
Nabi tidak hanya bisa mengucapkan ajaran yang umum tersebut mengenai kesetaraan jenis kelamin yang mencakup kesetaraan dalam mengenyam pendidikan, tapi juga melaksanakannya. Tidak terhitung jumlah hadist Nabi yang menunjukkan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki biasa maju dengan bebas ke hadapan Nabi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta keterangan mengenai semua hal yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial, agama, dan ekonomi. Nabi biasa menjawab pertanyaan mereka dan memberikan penjelasan mengenai semua pokok persoalan yang sedang terjadi.
Bangsa Arab khususnya, dan seluruh dunia pada umumnya, masih sangat terbelakang pada saat itu di mana tidak ada lembaga pendidikan yang tertata, bahkan bagi kaum laki-laki. Jadi, sikap Islam terhadap pendidikan perempuan bisa dipelajari hanya dari ucapan-ucapan Nabi yang sederhana dan sikapnya yang memberikan izin bagi perempuan untuk maju ke hadapan Nabi secara bebas untuk mengajukan pertanyaan mengenai persoalan-persoalan agama, ekonomi, dan kepentingan sosial.
Istri beliau sendiri, Aisyah, adalah seorang perempuan yang sangat terpelajar, dan selama pemerintahan khalifah yang empat, saran-saran beliau, bahkan mengenai persoalan-persoalan politik, diminta oleh para penguasa. Sampai saat ini Beliau juga diakui memiliki otoritas yang besar dalam bidang hukum Islam. Salah satu muridnya, ‘Urwa ibn al-Zubair, memberikan kesaksian mengenai kedudukan Beliau dalam pengetahuan:
“Saya tidak pernah melihat seorang ulama yang lebih agung dibanding Aisyah dalam pengetahuannya mengenai Al-Qur’an, kewajiban-kewajiban agama, hal-hal yang sah atau yang tidak sah menurut hukum, puisi dan kesusasteraan, sejarah dan silsilah Arab.”
‘Urwa sendiri adalah seorang ulama besar dalam bidang sastra. Suatu kali ketika dia memuji Aisyah, dia menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang menyamai Aisyah. Beliau merupakan salah satu perawi besar hadist-hadist Nabi dan telah meriwayatkan sebanyak 2210 hadist.
Sayyida Nafisa, seorang keturunan Ali, khalifah keempat, juga merupakan seorang ulama besar. Imam Syafi’i, pendiri Madzhab Syafi’i dalam hukum Islam, adalah salah satu dari murid-muridnya yang terkenal yang duduk di majelis pengajarannya di al-Fustat ketika ia berada pada puncak kemasyhurannya. Sheikha Shuhda yang memberi pengajaran di depan umum, di salah satu Masjid terpenting di Baghdad pada peserta yang demikian banyak mengenai kesusastraan, retorika, dan puisi, juga merupakan salah satu ulama terkemuka dalam Islam.
Masih banyak perempuan-perempuan muslim terpelajar lainnya yang menjadi guru, penulis, dan sastrawan, serta mendapat penghormatan yang demikian tinggi dari masyarakat muslim. Ulama-ulama perempuan tersebut senantiasa menjadi figur yang menginspirasi perempuan-perempuan muslim untuk berusaha mengungguli mereka. Ajaran Al-Qur’an, serta sejarah mengenai perempuan-perempuan muslim terkemuka tersebut juga senantiasa menjadi landasan bagi kaum feminis muslim dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.
Tradisi Islam yang kaya dan kompleks menawarkan pada perempuan-perempuan masa kini contoh-contoh yang banyak sekali yang memberi inspirasi secara intelektual, kultural, dan politis. Semua ini menambah penekanan pada hak-hak perempuan dalam pendidikan dan partisipasi publik, dan menaikkan rasa kebanggaan mereka sebagai seorang Muslim.
Oleh karena itu, diperlukan adanya dorongan yang terus menerus bagi seorang perempuan Muslim untuk melanjutkan pendidikannya di bidang apapun demi pengembangan intelektualitasnya dan untuk memanfaatkan pendidikan akademis atau profesionalismenya bagi kebaikan masyarakat.

Penutup
Meskipun secara normatif Islam telah memberikan hak yang setara bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana halnya laki-laki, namun pada kenyataannya masih terjadi banyak ketimpangan dalam pelaksanaannya, khususnya di negara-negara Muslim. Oleh karena itu, harus ada kesadaran dan usaha untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya, juga menciptakan kondisi yang mendukung baik secara sosial maupun budaya bagi kaum perempuan untuk mendapatkan hak mereka dalam bidang pendidikan.
Semakin berdaya pendidikan kaum perempuan, manfaatnya tidak hanya kembali pada diri mereka sendiri secara pribadi, tetapi akan berimbas pada generasi muda yang lahir di kemudian hari, tumbuh dan berkembang generasi baru berada di tangan mereka. Merekalah yang akan memberikan warna pada kehidupan generasi muda yang sangat berarti bagi masa depan dan kemajuan suatu bangsa.
Dengan cara demikian, diharapkan tidak ada lagi hambatan bagi perempuan untuk mengekspresikan diri, pikiran, maupun pilihannya. Demikian halnya, bias terhadap kaum muslimin sebagai kalangan yang ofensif terhadap perempuan juga akan hilang dari peredaran.
Seiring dengan ini, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan pada Islam pun dengan sendirinya akan tereduksi karena sesungguhnya Islam merupakan agama yang memuliakan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. J. Sudarminta, Filsafat Pendidikan, IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta:1990
Dadang S. Anshori, dkk,ed. Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
DR. Hj. Bainar,ed. Wacana Perempuan Dalam Keindonesiaan Dan Kemoderenan Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998
Khodijatul Qodriyah,”Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Jurnal Komunitas, No.1, Edisi I/2000.
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj.Farid Wajidi dan Cicik Farkha, Yogyakarta: LSPPA, 2000.
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Jakarta: LP3ES, 1995.
Mai Yamani, ed. Feminism And Islam legal and Literary Perspective, New York: New York University Press, 1996.
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition and Politics, London: Pinter Publishers, 1995.
Margot Badran, Feminist, Islam, and Nation, Gender and The Making of Modern Egypt, New Jersey: Princeton University Press, 1995.

 

Back To Daftar Isi

PEREMPUAN DALAM KEMAJUAN PERADABAN

Oleh : L. Rosida Irmawati *)

Pendahuluan

Dewasa ini kaum perempuan Indonesia telah hidup setaraf dan sejajar dengan kaum pria. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan kaum perempuan menempati posisi penting dan strategis di berbagai bidang pekerjaan. Bahkan negara berpenduduk di atas dua ratus juta ini, pernah di pimpin oleh seorang presiden perempuan. Berbicara tentang perempuan tentu timbul berbagai pertanyaan, bagaimanakah fungsi dan kedudukan kaum perempuan dalam pembangunan? Bagaimana peran kaum perempuan dalam bidang pendidikan dalam membentuk kualitas SDM ? Bagaimana peran perempuan dalam membangun peradaban ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat relevan apabila dikaitkan dengan Hadist yang berbunyi, “Perempuan adalah soko-guru (tiang) negara. Kalau perempuannya baik dan terdidik, maka baiklah negara itu, dan jika perempuannya rusak, maka rusaklah negara.”
Sepanjang sejarah kehidupan manusia topik tentang perempuan tak pernah selesai, selalu menjadi perdebatan panjang, dan menyita waktu. Terutama pada beberapa tahun belakangan ini, dimana peran perempuan menjadi topik yang paling hangat untuk diperdebatkan, terutama oleh kaum muslim. Selama ini wajah perempuan (terutama Islam) di belahan bumi manapun tidak pernah mampu meloloskan diri dari jaring-jaring patriarkhis yang diatasnamakan ajaran Islam. Karikatur penggambaran wanita Islam (muslimah) hanya memuat potret perempuan yang “taat, tunduk dan patuh”, sepenuhnya taklukk kepada kaum laki-laki (suami). Perempuan hanya tersekat pada konteks, “dapur, sumur dan kasur”.
Penggambaran perempuan di atas, lambat laun mulai mengabur seiring dengan keberhasilan perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk meningkatkan kemampuan berkompetisi. Di Indonesia, tokoh yang paling dikenal adalah R.A. Kartini, beliau adalah tokoh perempuan yang meletakkan dasar perjuangan kaum perempuan. Melalui tulisan (surat-surat), yang terangkum dalam buku, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, pikiran-pikiran beliau tentang persamaan hak, tentang pentingnya pendidikan perempuan, peranan wanita sebagai pendidik pertama dan utama, tentang penguasaan ilmu pengetahuan dan agama, wawasan yang luas, ber-budaya, berbudi luhur, berkepribadian, berwatak dan mempunyai moralitas tinggi merupakan esensi dari perjuangan R.A Kartini untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan.
Butir-butir gagasan yang disampaikan oleh R.A Kartini tersebut merupakan modal utama bagi perempuan untuk membangun sebuah peradaban baru, dan itu berkaitan langsung dengan peranan perempuan sebagai garda terdepan sebagai pentransfer ilmu kepada anak bangsa. Di pundak perempuan tugas mulia tersebut dibebankan, karena peranan pertama yang dipikul oleh perempuan (ibu) adalah dalam hal pendidikan moral, peletak dasar watak dan kepribadian anak didik. Surat-surat R.A Kartini ternyata mampu memberi nafas serta inspirasi bagi perjuangan kaum perempuan di era berikutnya.
Lambat laun, derajat perempuan semakin terangkat. Doktrin mengenai hak, martabat dan derajat kaum perempuan mulai diselaraskan serta dikemas secara utuh dalam pondasi yang kuat, sehingga hak-hak perempuan semakin ditegakkan. Dalam percaturan politik dunia, perempuan menempati sektor penting serta memegang peranan ganda. Dari tokoh-tokoh dunia, muncullah Indira Gandhi, Margaret Tatcher, Golda Mieyer, Corazon Aquino, Benazir Bhuto dan tokoh-tokoh perempuan yang lain. Sedangkan di Indonesia, telah dikenal nama R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Rasuna Said dan masih banyak lagi yang kalangan perempuan di negeri ini yang mampu menjadi penggerak pembangunan bangsa.

Peran Utama Perempuan Sebagai Pendidik

Dalam kodratnya, perempuan adalah bagian terpenting sebagai pendamping kaum pria. Karena demikianlah Sunnatullah yang berlaku atas makhluk yang bernama manusia. Dengan penciptaan yang berbeda itulah, maka kesempurnaan hidup dapat tercapai. Dengan mengedepankan perasaan yang dimiliki, perempuan menjadi sosok yang lembut, penuh cinta kasih, penuh dedikasi, penuh keikhlasan serta mempunyai jiwa pengorbanan sangat tinggi. Di samping itu, peranan perempuan bukan hanya berkutat pada wilayah domestik an sich, tetapi juga berperan sebagai jembatan antar sektor kehidupan yang lain, keseimbangan antara tugas dan kebutuhan. Dalam pengertian klasik perempuan mempunyai dua peran, yaitu : peranan dalam lingkup keluarga (domestik) dan peranan dalam lingkup masyarakat (publik)

1. Peranan dalam Lingkup Keluarga (Domestik)
Dalam peran keluarga (domestik), perempuan mempunyai andil besar. Di samping menjaga keutuhan rumah tangga, erat hubungannya dengan pembinaan generasi penerus, sesuai dengan kedudukan, tugas, kewajiban dan fungsinya. Sebagai anggota keluarga perempuan sebagai subyek sekaligus obyek. Perempuan mempunyai kemampuan dan tanggung jawab untuk menciptakan suasana keluarga yang mengarah pada rumah tangga yang utuh, bahagia, dan sakinah.
Peran pertama dan utama di sektor domestik menuntut kemampuan kaum perempuan menjadi prajurit terdepan dalam pembinaan generasi penerus. Pada sektor inilah, keberhasilan membangun sebuah generasi dipertaruhkan. Dapatlah dilihat kemajuan peradaban yang diperoleh oleh bangsa Eropa, Jepang dan Amerika sebenarnya karena kemajuan kaum perempuan. Perempuan yang terdidik akan mampu mengembangkan konsep pendidikan, yaitu konsep pembangunan manusia yang mengembangkan seluruh dimensi aspek kepribadian secara seimbang dan selaras serta memiliki unsur jasad, akal, kalbu serta aspek kehidupan sebagai makhluk individu, sosial, susila dan agama. Dengan demikian terjadi keseimbangan dalam upaya pengembangan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang telah ada dalam diri individual seorang anak anak.
Mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ dalam setiap diri anak dilakukan secara terus menerus, teratur, bersamaan, dan berkesinambungan. Terlebih potensi EQ, yang menurut para pakar psikologi merupakan komponen penentu keberhasilan seseorang dalam mengembangkan karakter, kepribadian dan jati diri. Hal itu disebabkan karena kecerdasan emosional bukan bersifat bawaan, kecerdasan emosional dapat dipelajari karena mencakup hasil-hasil pembelajaran dari lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga sampai lingkungan masyarakat luas. Karena itu, kecerdasan emosional mempunyai peluang yang lebih besar untuk dikembangkan, karena dapat dilakukan melalui interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang bersifat genetik dan tidak bisa dirubah, kecerdasan emosional bisa dikembangkan dan dipelajari. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri, mampu mengelola emosi, mampu memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Sehingga dengan memiliki keterampilan emosional tersebut setiap individu bisa memanejemen diri, memahami orang lain dan bertindak bijaksana.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, diperlukan kunci kecakapan sosial, yaitu seberapa baik atau buruk orang mengungkapkan emosinya dalam setiap perjumpaan individu, mengirimkan isyarat-isyarat emosional dan isyarat-isyarat itu mempengaruhi orang-orang yang sedang bersama kita. Dengan mengembangkan kecerdasan emosional, setiap individu mampu menjadi pribadi berkarakter,disiplin,jujur,disenangi baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sosial masyarakat, lingkungan pekerjaan ataupun kehidupan perkawinannya kelak. Dengan kemampuan memanejemen emosi, setiap individu (anak) akan mampu membelokkan emosi negatif, sehingga emosi negatif tersebut dimotivasi menjadi kumpulan emosi positif yang menghasilkan perasaan antusias, gairah dan keyakinan diri dalam meraih prestasi.
Pembentukan watak, karakter, kepribadian yang kuat dan sehat, peningkatan budi pekerti, peningkatan akhlak mulia, peningkatan akal pikiran, pembentukan moralitas merupakan proses internalisasi nilai-nilai keagamaan yang diperoleh di lingkungan keluarga, dan akan mempengaruhi sikap, perilaku, dan cara berfikir setiap individu anak. Dengan demikian, proses pendidikan yang di mulai dari lingkungan keluarga akan membentuk dan membangun SDM yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Tentu saja keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran perempuan (ibu) sebagai pendidik pertama dan utama sekaligus sebagai peletak dasar bagi pembentukan watak dan kepribadian.

2. Peranan Perempuan dalam Lingkup Masyarakat
Sebagai anggota masyarakat peran perempuan menempati posisi sentral dan strategis dalam pengembangan lingkungan. Untuk itu, kaum perempuan memiliki beban dan peran multi dimensi,aktif,dinamis dan kreatif dalam mengembangkan nilai-nilai positif, sekaligus mengikis nilai-nilai negatif di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Akibat adanya era industrialisasi yang digencarkan saat ini, peran perempuan tidak terbatas lagi dalam wilayah domestik maupun lingkungan masyarakat, tetapi telah merambah ke area birokrasi, akademisi, sosial, dan politik. Bahkan keterlibatannya mulai merambah ke bidang lain yang lebih dinamis, menantang dan berorientasi ekonomi-bisnis. Motif “profil oriented” perempuan cenderung melepaskan dimensi kewanitaannya, yang konon, sebagai identitas dan citra diri. Bahkan pengertian “Wanita karier” atau “wanita profesi” hampir melebihi ambang batas dan tampak semakin rancu. Dari sinilah, kondisi dan peran perempuan kerap keluar dari riil dan tapal batas kawasannya, sehingga kerapkali menjadi sumber lahirnya asumsi-asumsi negatif, konsumtif dan destruktif. Bila hal ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan, akan lahir sebuah generasi baru yang memiliki moral yang mudah rapuh.
Era informasi global menanamkan saham sangat besar bagi kaum perempuan (terutama Indonesia) untuk mengeliminasi nilai-nilai negatif yang berkembang pesat. Karena masyarakat kapitalis yang hedonis telah menanamkan pengaruh yang sangat kuat. Berkedok kemajuan peradaban manusia, berbagai pandangan-pandangan dan produk yang meruntuhkan serta menghancurkan moral dibungkus dan dikemas rapi. Hal itu dapat kita saksikan dalam tayangan-tayangan yang disiarkan hampir 24 jam di layar kaca. Banyak sekali iklan yang dikemas dalam adegan syur, jalinan cerita sama sekali tidak menggambarkan etika masyarakat Indonesia, pengaburan nilai moralitas, kekacauan konflik yang dikemas dalam adegan perseteruan yang tidak mendidik, adegan kekerasan. Tontonan tersebut dinikmati oleh berjuta-juta rakyat dan telah menjadi sebuah pembenaran umum. Ini jaman modern.
Budaya modern, pelan namun pasti telah mengikis kekayaan budaya nusantara yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Kekayaan tentang filosofi dan esensi kehidupan, lambat laun mulai terkikis, terabrasi oleh budaya luar (Barat) yang gencar menyerbu. Manusia Indonesia telah menjadi bagian masyarakat global, yang cenderung lebih menyenangi dan menyukai sesuatu yang serba instant. Di samping itu kehidupan komunal mulai beralih pada kehidupan individualistik.
Tentu saja pengaruh-pengaruh tersebut akan menimbulkan ketidak-seimbangan dan berbagai patologi sosial dalam masyarakat. Terutama kepada generasi muda. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya Barat telah menyumbangkan berbagai pemikiran dan perubahan dalam pola pikir ke rah positif. Akan tetapi, di sisi yang lain banyak sekali produk budaya yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Bagi perempuan (khususnya Indonesia) efek-efek dari gangguan budaya Barat sangatlah negatif.
Salah satu upaya mengeliminasi efek negatif kultur budaya Barat tersebut adalah mengefektifkan pendidikan. Sebab dengan memiliki basis yang kuat di sektor pendidikan, pada gilirannya akan mampu menghasilkan generasi baru yang siap melawan arus transformasi budaya asing. Dengan demikian, peran perempuan dalam lingkup sosial kemasyarakatan akan memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan sebuah peradaban.
Dapatlah dipaparkan peranan perempuan di lingkungan sosial kemasyarakatan, diantaranya:
Transformasi Budaya
Pada masayarakat agraris budaya guyub masih sangat kuat. Motto sederhana, “makan tidak makan yang penting kumpul,” merupakan salah satu sisi budaya lokal yang berdimensi negatif dari budaya nerima yang masih dianut di lingkup masyarakat. Tentu saja motto tersebut akan menyebabkan kemunduran, karena etos kerja telah mengendurkan dan tidak menjadi komitmen yang sangat kuat. Kemajuan akan dapat dicapai apabila manusia melakukan optimalisasi terhadap kemampuan yang dimiliki, melalui peningkatan etos kerja; kerja berfikir, kerja berbudaya, dan kerja pemanfaatan waktu.
Salah satu upaya dalam meningkatkan rasionalisasi perempuan dimulai dengan mengefektifkan pendidikan terutama pendidikan kaum perempuan. Kaum perempuan hendaknya dididik agar punya kesadaran berfikir, kesadaran bersosial, kesadaran berekonomi, kesadaran berpolitik, dan kesadaran beragama. Melalui upaya penyadaran yang maksimal terhadap makna penting pendidikan bagi perempuan dalam berbagai dimensi, maka budaya “nerima” dapat di hapus secara perlahan. Proses pendidikan perempuan ini harus berpijak kepada filosofi pendidikan yang mengakar pada kepentingan masyarakat, sesuai dengan paradigma berfikir masyarakat, dan sejalan dengan tuntutan kemajuan bangsa-bangsa di belahan bumi lainnya.
Membangun kesadaran berfikir perempuan, hendaknya dijalani melalui rasionalisasi akal serta di uji oleh daya nalar yang sehat. Akal diberdayakan lebih aktif dalam menangani berbagai hal. Dengan demikian, kesadaran berfikir akan mampu mengoptimalkan kecerdasan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia. Dalam rentang sejarah umat manusia, kemajuan peradaban yang di capai pada hakikatnya di topang oleh rasionalisasi akal yang tinggi. Demikian pula sebaliknya, kemunduran peradaban manusia disebabkan karena akal tidak mendapatkan porsi sewajarnya.
Menumbuhkembangkan budaya-budaya positif dan mensinergikannya akan menghasilkan daya apresiasi yang sangat tinggi terhadap nilai budaya yang ada. Dengan demikian, nilai budaya yang dihasilkan dari tangan kreatif dan inovatif akan menghasilkan daya kreatifitas berfikir yang mampu berinteraksi aktif dalam melakukan rekontruksi sekaligus mentransformasikannya kepada generasi penerus. Transformasi tersebut dapat dilakukan dalam lingkup kecil keluarga, lingkungan masyarakat, dan dalam lingkup pendidikan formal.

Begitu pula dengan transformasi nilai-nilai budaya lokal lainnya, yaitu gotong royong, sistem norma, sistem hukum, aturan-aturan khusus, dan kesenian akan memberikan kontribusi bagi pembentukan sumber daya manusia yang mampu bekerja dengan sesama berdasarkan rasa solidaritas yang tinggi, serta mematuhi hukum-hukum yang berlaku, baik hukum adat maupun hukum tertulis. Dengan demikian skala prioritas dalam emelakukan transformasi budaya akan menghasilkan generasi yang tanggap dan mampu menggandeng pernik modernisasi.

Peran di Area Politik
Akses pendidikan yang dicapai kaum perempuan berdampak pada keberhasilan merambah area yang sangat luas di berbagai sektor kehidupan. Perjuangan emansipasi dan persamaan gender memasuki wilayah politik yang selama ini dikuasai oleh kaum pria. Dengan terjun ke arena politik yang didominasi oleh kaum pria, maka perempuan akan mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, keluarga maupun komunitasnya, dan negara. Hal ini disebabkan banyak sekali keputusan-keputusan yang diambil sebagai kebijakan publik, tidak mewakili aspirasi perempuan. Dengan memasuki arena politik, kaum perempuan harus mampu menentukan sikap dalam pengambilan keputusan dan menentukan keputusan tersebut (akses dan kontrol atas keputusan politik).
Keberanian kaum perempuan merambah arena politik, berangkat dari besarnya jumlah kaum perempuan di Indonesia yang sampai mencapai 52 %, tetapi hanya mendapat kuota 30 % di lembaga Legislatif. Perjuangan panjang perempuan dalam arena politik dilatarbelakangi akibat adanya ideologi patriarkhi, yang ditandai oleh ketidak-adilan yang bersumber pada dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, hubungan kekuasaan berbasis umur, kelas sosial, keturunan, suku, bangsa, bahkan agama, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perjuangan tersebut disuarakan oleh perempuan dengan berpijak pada kenyataan bahwa partai politik atau politisi pada umumnya kurang memahami masalah perempuan, juga tidak peduli dengan kepentingan perempuan. Ketidakpedulian tersebut ditunjukkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan terhadap beberapa partai Pemilu 2003 di empat kota, yaitu; Jakarta, Palembang, Yogjakarta dan Makassar. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa program maupun aturan internal sebagian besar partai politik tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Bahkan beberapa partai politik memiliki sikap yang berlawanan dengan kepentingan perempuan. Faktor ketiga adalah, kecenderungan partai-partai politik atau politisi berpihak pada kepentingan pada para pemilik modal dari berbagai negara industri.

Peran di Area Publik
Dalam paruh abad kedua puluh, peran kaum perempuan mengalami ekspansi dan transformasi besar-besaran. Kaum perempuan terjun dalam seluruh lapangan kerja perkantoran dan profesional, ilmu teknik, bisnis besar, dan politik. Bahkan peran signifikan dalam bidang politik telah mampu mengantarkan perempuan menduduki jabatan puncak sebagai Kepala Negara. Di samping itu, jabatan publik yang sangat strategis telah mampu di raih oleh kaum perempuan. Sifat dan ragam partisipasi mereka dalam ekonomi, dalam kehidupan politik, dan dalam kebudayaan yang tampak dan dominan sangatlah kompleks.
Jumlah perempuan, plus partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan kebutuhan ekonomi menghasilkan pendapatan besar, terutama di kelas menengah. Dengan demikian persaingan dan kompetensi dalam meraih lahan pekerjaan semakin seimbang antara perempuan dan kaum pria. Hal itu disebabkan karena akses pendidikan kaum perempuan telah mampu melahirkan perubahan radikal, sehingga jumlah karyawan perempuan semakin besar. Masuknya kaum perempuan terdidik ke dalam angkatan kerja hampir sepenuhnya menyebabkan peningkatan itu sendiri. Sebagian besar dari mereka dapat dilihat dalam lapangan kerja profesional, teknik dan keilmuan. Mengajar dan pekerjaan medis merupakan pekerjaan yang mengalami pertumbuhan paling cepat, dan pekerjaan perkantoran serta pegawai negeri juga mengalami perkembangan yang signifikan. Kaum perempuan benar-benar terjun ke dalam semua profesi, terutama ilmu teknik, politik, pertanian, kedokteran, hukum, jurnalistik, film, bisnis, radio, dan televisi (radio dan televisi lapangan kerja yang telah membuat kaum perempuan menjadi terkenal dan masyhur).

Penutup
Akses pendidikan dan bendera persamaan yang dikibarkan kaum perempuan telah mendapatkan tempat di hati perempuan Indonesia. Walaupun tidak dapat dipungkiri, gerakan tersebut bersinggungan dan terkontaminasi oleh gerakan feminis Barat yang lebih menekankan persamaan dan kebebasan yang sama, tanpa mematuhi rambu-rambu agama. Kaum feminis Barat membuat mitos-mitos dan mendorong kaum perempuan memburu kemandirian dengan menghalalkan segala cara, sekalipun cara itu mengabaikan kodrat alam.
Hal tersebut diperparah oleh hadirnya media massa, baik cetak maupun elektronik. Media massa telah meracuni pikiran kaum perempuan dengan berbagai tayangan yang tidak mendidik, mengumbar sensualitas, eksploitasi kecantikan lahiriah dan segudang cerita yang menjauhkan pikiran menggunakan penalaran dan logika serta ambang batas moralitas. Akan tetapi, penjajahan budaya yang setiap detik hadir di depan mata melalui layar kaca tersebut belum mampu membentuk kesadaran, karena banyak dari kaum perempuan telah tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Perempuan adalah tiang negara. Kualitas sebuah generasi tergantung kepada keberadaan dan kiprah perempuan. Sangatlah menarik apa yang dikatakan oleh Ustadz Yoyok Yusroh, seorang pendidik sekaligus pendakwah, tentang fenomena perempuan Indonesia. Ustadz Yoyok mengatakan bahwa saat ini budaya menonton sudah sangat kuat di kalangan perempuan Indonesia. Padahal, suatu bangsa tidak akan cerdas dengan budaya menonton, tapi budaya membacalah yang mencerdaskan suatu bangsa, dan mampu mengantarkan bangsa itu meraih prestasi dan membangun peradaban tinggi.
Tugas berat inilah yang kini diemban oleh Pemerintah Daerah di tengah amuk budaya global, dan tentunya menjadi tugas utama untuk mencerdaskan kaum perempuan. Penguasaan ilmu pengetahuan, keluasan wawasan serta pembekalan berbagai disiplin ilmu akan membantu kaum perempuan dalam mentransfer ilmu kepada putra-putrinya. Karena kaum perempuan (Ibu) menjadi orang pertama yang mengajarkan dasar-dasar agama, yaitu dengan memantapkan iman di dalam hatinya sekaligus membina sektor akhlak, menanamkan nilai-nilai moral, budi pekerti luhur serta menanamkan sikap hidup hemat, disiplin, tekun dan tertib.
Di tengah zaman yang memuja hedonisme, tidak salah kiranya kaum perempuan masa kini harus segera kembali bangkit dan menemukan jati diri yang sebenarnya. Yaitu dengan jalan memperluas wawasan dan cakrawala berfikir, membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu, dan tidak pernah berhenti mencari dan membekali diri, tanpa harus menjadi tumbal budaya global di tengah arus modernisasi. Dengan demikian sosok perempuan (Ibu), selamanya akan menjadi pahlawan bagi anak-anak bangsa, sebagaimana kutipan bait puisi dibawah ini :
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya
Tentang pahlawan
Namamu, ibu yang kan kusebut
Paling dahulu
(dikutip dari puisi “Ibu”, D. Zawawi Imron)

Daftar Pustaka:
1. Abdul Rahman Shaleh;Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta, Gemawindu Pancaperkasa. Jakarta
2. Asghar Ali Engineer. Matinya Perempuan.. IRCiSoD. Yogjakarta, 2003
3. Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Gramedia. PT Jakarta, 1974
4. Haya binti Mubarok Al-Barik. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Darul Falah, 1421 H, Jakarta
5. Leila Akhmad Wanita, Gender dalam Islam. Lentera, Jakarta, 2000
6. Rahmat Tohir Ashari. Artikel “Budaya Nerima”, Al-Kinanah, majalah Sastra dan Budaya
7. Titi Said, dkk. Journal 1 abad Kartini. Jakarta, 2000

L. Rosida Irmawati , lahir di Jember 16 Juli 1964. Telah menulis dibeberapa media cetak ; koran dan majalah baik lokal, regional dan nasional (Jakarta) dalam bentuk essay, artikel umum dan cerpen. Pernah mengikuti pelatihan kesenian di Taman Budaya Jawa Timur. Selain sebagai penulis, berprofesi sebagai guru di SDN Pangarangan 3 Kec. Kota Sumenep, juga aktif di LSM Pornama sebagai Koordinator. Dalam waktu dekat akan menerbitkan buku bunga rampai seni Madura dengan judul “Berkenalan dengan Kesenian Tradisional Madura. Sekarang tinggal di Jl. Berlin 3B Sumenep. Telp. 0328-669112. E-mail : pornama@telkom.net

Penulis adalah aktivis LSM Pornama dan guru SDN Pangarangan 3 Sumenep

 

 

Back To Daftar Isi

 ARTIKEL LEPAS  

Inferioritas Perempuan dan Empowerment Politik

DR. Ida Ekawati


Pendahuluan
Secara normatif kaum perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki di segala bidang. Demikian pula, keterlibatan dan tanggung jawab terhadap pembangunan dan tuntutan untuk berperan serta dalam pembangunan. Jargon-jargon seperti feminisme, kesetaraan, gender, dan seterusnya selalu mewarnai kehidupan perempuan. Akan tetapi, persoalannya kini adalah fakta kehidupan sosial yang masih belum berpihak pada perempuan. Di sektor domestik maupun publik–apalagi politik—menunjukkan bahwa perempuan tidak saja diperbedakan, lebih dari itu terekploitasi dan ditempatkan dalam kasta yang terendah. Bila ada strata di bawah sudra mungkin perempuanlah penghuninya. Ini adalah analogi tepat untuk menggambarkan posisi kaum perempuan. Di sadari atau tidak, secara tidak langsung maupun secara langsung, disparitas realitas itu benar-benar terjadi.
Pada sektor domestik misalnya, ibu, saudara dan anak perempuan mendapat perlakuan yang berbeda baik dari negara maupun dari komunitas politik tradisional, sedangkan ayah, saudara dan anak laki-laki mendapat perlakuan yang lebih istimewa. Pada sektor publik lebih mengenaskan, perempuan seringkali tidak memperoleh hak yang sama dalam kesempatan, perempuan selalu dalam posisi tawar yang yang lebih rendah (The Second Sex menurut makna yang lebih dalam), tidak memperoleh akses dalam proses desisson making, serta tidak memperoleh berbagai kesempatan untuk beraktualisasi baik dalam kehidupan sosial, pendidikan, percaturan politik dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Fakta yang demikian, merangsang beberapa kalangan akademisi, praktisi dan birokrasi untuk peduli dan mencari cara bagaimana “merubah” kultur dan struktur sosial yang memapankan kondisi tersebut di atas. Bagaimana para perempuan mampu berada di altar yang sejajar dengan laki-laki ? Persoalan ini tentunya memerlukan kejelian dalam memandang berbagai faktor yang membiarkan semua itu terjadi. Bervariasi kemungkinan dapat terjadi dan menjadi sebab dalam melanggengkan budaya obsolute patrilinial. Tatkala banyak kalangan menengarai bahwa sebab utama disparitas tersebut adalah perempuan diletakkan pada posisi yang lebih inferior di banding dengan laki-laki. Walaupun, tidak menutup kemungkinan hal ini justru disebabkan oleh formula dari realitas tersebut adalah perempuan “mau” diletakkan di tempat yang lebih rendah. Dalam hal ini sengaja penulis meletakkan kata mau dalam tanda kutip sebab berkaitan dengan kedirian perempuan,tetapi mayoritas dari quantum perempuan di akui atau tidak, justeru merasa tanpa beban untuk menerima apa adanya. Oleh karena itu mewakili penyesalan dari kemungkinan yang kedua ini Julia Cleves mengatakan; “Tanpa pendidikan kamu bukan apa-apa di dunia ini. Saya berharap saya bisa dilahirkan kembali. Saya tidak akan menikah terlalu dini, dan saya akan belajar dan belajar hingga saya mati”.1 Pertanyaan kemudian untuk mengubah penyesalan di atas menjadi kegirangan adalah dengan cara apa dan bagaimana reposisi perempuan bisa dilakukan? Tentunya ada banyak kemungkinan yang bisa saja menjadi variabel penyebab dari disparitas sosial antara perempuan dan laki-laki. Karena itu pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah, adakah, bagaimana, mungkinkah, harus menjadi sebuah keniscayaan untuk diwujudkan.

Pendidikan untuk Perempuan dalam Keniscayaan
Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan sudah mulai dilakukan oleh berbagai pihak, tetapi upaya tersebut belum mencapai hasil yang bisa dikatakan optimal (apalagi maksimal).
Pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan manusia, karenanya pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat. Jika dilihat dari tilikan kultural pernyataannya akan menjadi;
1. Budaya adalah ciptaan manusia yang dilandasi situasi lingkungan yang tidak dipahami manusia, pengertian ini memberikan peluang untuk mengubah ciptaan.
2. Budaya adalah kodrat alam yang tidak dapat dirubah.
Dua pandangan ini dapat mengaburkan kebenaran, hal tersebut juga mempengaruhi pendidikan perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan muncul dimana-mana. Hampir seluruh penderitaan di dunia korban mayoritasnya adalah perempuan. Situasi tersebut tercipta dengan adanya struktur budaya yang dibuat oleh manusia yang dapat dilihat melalui lima pendekatan di bawah ini:
1. Struktur budaya patriarkhi yang muncul karena perubahan sosial ke arah masyarakat industri (adanya hak milik, akumulasi kapital).
2. Struktur sosial yang menimbulkan hubungan hirarkhis dalam keluarga sehingga perempuan termarjinalkan.
3. Struktur ekonomi, dimana perempuan sangat dirugikan (masalah domestik dibebankan kepada perempuan dan dikatagorikan sebagai tenaga kerja kurang produktif dan tidak diberikan kesempatan untuk memimpin atau kesempatan untuk memimpin banyak hambatannya)
4. Struktur politik dimana perempuan tidak pernah mendapat kesempatan untuk turut mengambil keputusan dalam bidang politik.
5. Struktur sosial religius, perempuan diajarkan untuk menafsirkan kitab suci sebagai sabda Tuhan tanpa mempersoalkan budaya patriarkhi yang melatarbelakanginya.
Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia diperlakukan tidak adil, maka mereka memberontak. Akan tetapi, karena gerakan pembodohan perempuan juga sudah berjalan berabad-abad maka usaha kebangkitan perempuan melalui pendidikan juga banyak mengalami hambatan dan membutuhkan waktu yang lama pula. Upaya pemberdayaan perempuan melalui pendidikan akan lebih terhambat apabila pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan perempuan tidak mempunyai visi yang sama atau bahkan bertentangan.2 Karena itu, jika upaya reposisi perempuan melalui pendidikan tidak diimbangi dengan pembenahan di berbagai sisi yang nantinya akan bermuara pada dekontruksi sistem pendidikannya, maka usaha-usaha inipun akan menjadi tidak berarti.
Melalui uraian panjang Rahmat Safaat3 melihat bahwa kendala struktural bagi pendidikan perempuan adalah adanya perasaan terancam dari laki-laki akan hilangnya jatah kursi dan kedudukan. Banyaknya pejabat yang alergi (khususnya di Indonesia) dengan menganggap bahwa gerakan empowerment tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa konsep empowerment tersebut di artikan para pejabat sebagai pemberian kekuasaan pada perempuan, dan di anggap impor dari Barat4. Pemahaman ini tentu jauh berbeda dengan makna empowerment itu sendiri yang berarti pemberdayaan dan perkuatan5. Di samping itu para pejabat juga menganggap bahwa gerakan tersebut telah diadopsi dari Barat oleh para misionaris feminis yang merupakan gerakan sparatis yang akan merusak kultur dan struktur yang telah mapan.
Citra buruk yang disebarkan oleh para pejabat mengenai feminisme—acapkali perempuan—secara idividu maupun kelompok—enggan menyebut dirinya sebagai feminis, maka aktivis perempuan sering kali melakukan sensor diri dalam ucapan ataupun tindakan. Inilah kenapa penulis menengarai sebagai tindakan yang dilakukan perempuan sendiri untuk melanggengkan budaya inferioritas sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.

Pendidikan Politik Perempuan dan Tantangannya
Segala kegiatan perempuan dan persepsi masyarakat terhadap status dan posisi perempuan dilingkupi oleh nilai-nilai yang patriarkhis, yang memihak kepada laki-laki. Nilai-nilai yang patriarkhis tersebut diinternalisasikan dan dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti lembaga politik, pendidikan maupun kepercayaan-kepercayaan, sehingga subordinasi tersebut tidak dirasakan sebagai suatu sistem yang secara langsung sangat menekan dan memojokkan perempuan.
Di sektor publik perempuan tertinggal satu langkah dari laki-laki, dominasi laki-laki yang sangat besar dalam setiap kegiatan membuat perempuan hanya sebagai pelengkap. Sebab, awal dari kenyataan ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh stereotipe masyarakat yang masih memandang sebelah mata. Dalam konteks ini peran perempuan dalam kancah politik (misalnya) masih debatable dalam mengartikulasikannya secara fair. Sungguhpun konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention The Elimination of All Forms of Diskrimination Againts women /CEDAW) yang disahkan pada tahun 1981, merumuskan bahwa “partisipasi sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial adalah salah satu prinsip dasar yang harus dipegang teguh”6, akan tetapi pada kenyataannya kaum perempuan di seluruh dunia termarjinalisasi dan kurang terwakili di dunia politik.
Keterlibatan perempuan dalam politik tetap harus mendasarkan pada prinsip keadilan dan tidak mengejar target kuantitas atau ambisi politik tertentu, karena apabila tercapai perjuangan sudah selesai. Sebaliknya perjuangan akan terus dilakukan apabila berdasarkan pada prinsip keadilan. Melalui prinsip keadilan semacam ini perempuan diharapkan mampu untuk memilih dan bertindak secara bijak. Konvigurasi politik yang ada di parlemen membutuhkan ketelitian untuk mencermatinya, sebab tidak jarang perempuan (kuota perempuan) sering dijadikan komoditi politik atau juga menolaknya karena tidak menguntungkan secara politis. Karena itu ambisi untuk melakukan empowerment harus juga diimbangi dengan kejelian dalam menatap realitas.
Apa yang terjadi di Pakistan dengan Undang-undang Hududnya adalah merupakan contoh perlunya variabel kejelian yang harus dimiliki perempuan. Undang-undang Hudud tahun 1979 merupakan suatu statuta yang mengatur hukum kekerasan seksual. Pada mulanya hukuman maksimum bagi pelaku perkosaan adalah dirajam sampai mati. Kini, hukuman ini dikurangi menjadi 25 tahun penjara dan 100 cambukan. Ketentuan ini tampaknya merupakan perlindungan yang kokoh bagi perempuan, akan tetapi bila dilihat secara jeli untuk memutuskan hukuman maksimum pada pemerkosa, diharuskan ada empat orang saksi laki-laki atau si tertuduh harus mengakui kejahatannya. Kesaksian perempuan yang diperkosa tidak begitu berarti; malah dengan mengakui perkosaan yang dituduhkan bisa sangat beresiko bagi perempuan karena bisa menempatkan dirinya justeru sebagai tertuduh, selanjutnya sudah dapat dipastikan bahwa kasusnya akan berubah menjadi zina. Zina merupakan hubungan seksual di luar perkawinan, dan merupakan pelanggaran yang dapat dihukum dengan empat hingga lima tahun penjara dan 30 kali cambukan. Aktivis perempuan di Pakistan menyebut kasus Safia Bibi, seorang perempuan buta berusia 18 tahun yang diperkosa oleh majikannya dan anak laki-lakinya, lalu ia hamil. Lalu ayahnya mengajukan tuntutan pemerkoasaan, tetapi pengadilan menuduh Safia Bibi berzina dan akan menghukumnya.7
Gambaran di atas menjadi bukti tersendiri betapa dunia masih berpihak pada kaum laki-laki. Sungguhpun kasus Safia Bibi di akhiri dengan demonstrasi besar-besaran atas namanya, tetapi Safia Bibi tetaplah perempuan yang tidak berdaya dalam menatap realitas dunia.
Di Indonesia sendiri setelah melalui perdebatan dan perjuangan panjang kaum perempuan, pemerintah kemudian mengesahkan Undang-undang Pemilihan Umum dengan memberikan quota 30 % untuk perempuan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %8.
Quota 30 % merupakan tindakan dalam bentuk kebijakan dengan maksud untuk menyamakan gris stag dari maskulin ataupun feminim,9 dengan adanya quota 30 % peran politik perempuan diharapkan dapat exsist, seperti halnya beberapa negara sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini .

Tabel. 1
Negara yang Sukses menerapkan Sistem Kuota

No Negara Proporsi Perempuan dalam % Sistem Pemilihan Umum

1
2
3
4
5
6
7 Swedia
Denmark
Norwegia
Jerman
Selandia Baru
Mozambik
Afrika Selatan 42, 7
37, 4
36, 4
30, 9
30, 8
30, 0
29, 8 Representasi Proporsional
Representasi Proporsional
Representasi Proporsional
Representasi Wakil Campuran
Representasi Wakil Campuran
Representasi Proporsional
Representasi Proporsional
Sumber : Inter Parlienebty Union, 2003

Di kancah legislatif, perempuan yang duduk di kursi dewan sangat sedikit dan tidak mewakili suara perempuan yang menurut kwantitasnya lebih banyak dari laki-laki, sehinggga perempuan yang mayoritas malah menjadi korban kebijakan kaum minoritas laki-laki. Pernyataan ini di dasarkan pada data yang akurat sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel. 2
Jumlah Keterwakilan Perempuan Lembaga Pengambil Keputusan

Lembaga Jumlah Perempuan Jumlah Laki-laki Jumlah Perempuan (%)
MPR
DPR
MA
BPK
KPU
MK
GUBENUR 18
45
7
0
2
0
0 177
455
40
7
9
9
30 9, 2
9, 5
14, 7
0
18, 1
0
0
Sumber : Inter Parlienebty Union, 2003.

Tabel. 3
Representasi Perempuan Di DPR RI Pada Tahun 1950-2004

Periode Perempuan Jumlah Laki-laki
Jumlah
1950—1955
1955—1960
1956—1959
1971—1977
1977—1982
1982—1987
1987—1992
1992—1997
1997—1999
1999--2004 9
17
25
36
29
39
65
65
54
45 236
272
488
460
460
450
500
500
500
500
Sumber : bestari, Desember 2003
Dengan diundangkannya Undang-undang Pemilu tersebut, langkah selanjutnya adalah pendidikan politik bagi perempuan baik pendidikan bagi perempuan calon pemilih maupun yang dipilih, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara :
1. Menggunakan quota 30 % tersebut sebagai wadah aspirasi politik perempuan secara maksimal dalam artian perempuan harus mampu bersaing untuk berebut kursi di parlemen, perjuangkan posisi atau struktur di parlemen.
2. Straregi culture atau pendewasaan pemikiran, kaum politisi perempuan harus mampu merubah cara pandang kepada wanita dengan adanya satu kesatuan yang utuh. Perubahan presepsi secara religi ataupun secara kultur. Untuk merubah presepsi masyarakat yang keliru tentang peran perempuan dapat dilakukan dengan pembangunan kultur atau pendekatan kultur.
3. Mobilisasi sosial.10
Pendidikan politik juga banyak dilakukan oleh beberapa partai politik dengan tujuan perempuan capable duduk di legislatif, antara lain dengan pelatihan dan pendidikan :
1. Akhlak
2. Menguasai beberapa disiplin ilmu
3. Cakap dalam menyampaikan pendapat11
Dalam kaitan pendidikan politik untuk perempuan ada banyak model yang telah ditawarkan oleh para pakar. Di antara pakar tersebut antara lain Schuler12, bagi dia untuk memberdayakan perempuan ada tiga program strategis yang dapat dilakukan yaitu :
1. Reform, pembaharuan peraturan berdasarkan hasil penelitian dan para perumus undang-undang harus berpihak pada hubungan yang emansipatif antara laki-laki dan perempuan.
2. Advocacy, kasus-kasus yang sering muncul yang berkaitan dengan persoalan perempuan harus sering dimunculkan agar menjadi perhatian oleh para pembuat kebijakan.
3. Education dilakukan dengan beberapa tahapan salah satunya melalui : pendidikan penyadaran tentang hak-hak perempuan di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan bidang lainnya.

Ketiga point di atas dapat dilihat secara singkat pada gambar di bawah ini:

Gambar: 1
Components of Legal Sistem

The Structural
Component
The Courts, administration, and law enforcement agencles

The Cultural
Component
Shared, attitudes and behaviors about the law

Strategies aimed et the Strategies aimed at the
Structural Component Substantive Component
Advocacy:

· Counsel
· Individual/ group advocacy
· Representation

Education:
Media campaigns
Training of Lawyers and Pararelais Legal Education, Legal Literacy Program
Constituency Building
Publicfora
Reform:

· Research
· Legislative
· Initiative

Sumber: Schuler M. 1986, Empowerment and the Law; Strategies of Third World Women New York : OEF International hal; 22-23

Strategi Schuler di atas hampir memberikan kejelasan tentang apa yang harus dilakukan/ atau langkah-langkah yang semestinya dikerjakan dalam melakukan usaha-usaha empowerment, sehingga inferioritas perempuan tidak akan terjadi kembali. Ada beberapa model empowerment lain yang juga banyak dipakai aktivis perempuan. Di antara model-model empowerment tersebut salah satunya pernah dikembangkan oleh Griffien; 1989.

Penutup
Tentunya tulisan ini terlalu terbatas untuk dapat mengupas secara detail inferioritas yang terjadi dan di alami oleh perempuan. Sungguhpun demikian ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk dapat mempraktekkan kata empowerment tersebut. Persoalannya menjadi semakin kompleks tatkala kaum feminis sendiri semakin enggan untuk memberdayakan dirinya, padahal disisi lain kaum laki-laki juga tidak akan membiarkan posisinya digeser oleh kaum hawa, karena itu dua sebab yang saling timbal balik ini juga harus disadari oleh kaum perempuan. Hanya dengan kemauan keras dan usaha maksimal akan dapat mencapai hasil yang maksimal pula. Karena itu bila hasil perolehan suara sebagaimana terlihat pada tabel tiga di atas tidak menunjukkan empowering perempuan maka berarti kaum perempuan harus dapat koreksi diri.

Daftar Pustaka
Womankind Worlwide (t. t) “Women and Education”, Women’ s Lives 4, hal; 10 ____dalam Claves Julia Mosse, 2003, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, ____Jogjakarta
Murniati. P. Nunuk, 2004, Perempuan Indonesia dalam prespektif agama, budaya dan ____keluarga, Indonesiatera, Magelang
Safaat. Rakhmat, 1998, Buruh Perempuan, Perlindungan Hukum dan Hak Asasi ____Manusia, IKIP Press, Malang
Wijaya. Hesti, R., 1993, Perlindungan Sosial Pada Perempuan; Riset Aksi ____Pemberdayaan Perempuan Untuk Mengubah Kondisi Kerjanya, Makalah pada ____Forum Komunikasi Hasil Penelitian, Cibulan, Dikti.
Ihromi. Tapi Omas, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Kerangka Pikiran yang Telah ____Berkembang dalam Kajian Wanita, Makalah Seminar Nasional pengembangan ____Study Wanitadan Pembangunan di Indonesia: KSW Fisip UI-Vena, Jakarta ____19—21 Austus
Yentriani. Andi, 2004, Politik Perdagangan Perempuan, Galang Press, Jogjakarta
Women Living Under Muslim Laws (1988) Dossier 3
Undang-undang Pemilihan Umum Pasal 65 Ayat 1
Salviana, Vina, 2003, Bestari No. 185/TH.XVI/Desember, Malang, hal :12
Hidayatullah, Nidhom, 2003, Bestari No. 185/TH.XVI/Desember, Malang
Schuler M, 1986. Empowerment and The Law : Strategies of Third Women. New York : OEF International

 

 

Back To Daftar Isi

PENDIDIKAN BERORIENTASI GLOBAL

Oleh Mudda’i*

Pendahuluan

Tak tersangkal bahwa makhluk yang bernama manusia itu hidup dan eksis dalam suatu rangkaian perubahan yang terjadi secara dialektis. Di satu sisi, perubahan itu terjadi sebagai manifestasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, yang berkembang begitu cepat dan terjadi secara terus-menerus. Di sisi yang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut adalah berkat daya kreatif olah pikir manusia itu sendiri.
Fenomena tersebut menggambarkan bahwa manusia adalah subjek sekaligus objek dalam (realitas eksistensial) dirinya sendiri. Manusia adalah pembentuk sekaligus dibentuk oleh sejarahnya sendiri. Hal ini terjadi karena manusia, dilihat dari sudut pandang psiko-filosofis, merupakan makhluk potensial. Ia mengaktualisasikan diri dengan cara berpikir dan bertindak. Kemudian lahirlah “sejarah” sebagai actual being-nya.
Di dalam sejarah, manusia melakukan sejenis petualangan intelektual melalui proses manusiawi yang meliputi : refleksi, kontemplasi dan observasi terhadap realitas, baik diri sendiri, alam semesta maupun Tuhan. Melalui proses ini dengan sendirinya manusia senantiasa berada dalam “ruang” dan “waktu” yang terus berdinamika : berkembang dan berubah. Kemudian muncul pertanyaan, apakah yang berkembang dan berubah itu?
Perkembangan atau perubahan itu meliputi pola pikir, gaya hidup dan tata sosial budaya manusia itu sendiri. Perkembangan atau perubahan itu merupakan bagian dari proses sejarah yang tak terelakkan dan akan terus terjadi selama manusia atau masyarakat tidak puas dengan situasi aktualnya yang terjadi kini dan di sini. Dan ketidakpuasan ini akan selalu muncul dalam diri manusia atau masyarakat bila rasa ingin tahu (curiosity)-nya masih ada dan bergerak menjadi realitas aktual : new men atau new societies.
New men atau new societies adalah semacam kondisi eksistensial yang menggambarkan keberadaan manusia atau masyarakat-bangsa yang lebih berpengatahuan luas, berperadaban maju dan berkeadaban tinggi.
Globalisasi
Kemajuan seseorang atau pun suatu bangsa, dalam segala dimensinya, pada mulanya tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan. Jika suatu bangsa dapat diandaikan dengan sebuah pohon, maka yang menjadi akarnya adalah pendidikan. Sebuah pohon akan tumbuh dengan segar bila akarnya tidak mengalami kerusakan. Demikian juga halnya dengan suatu bangsa, kemajuannya bersandar pada tingkat kualitas pendidikan yang dialami oleh rakyatnya. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pendidikan itu bagi seluruh warga negara bahkan bagi semua umat manusia. Dikatakan demikian, karena pendidikan bukanlah semata suatu gagasan khayali, melainkan suatu realitas yang merupakan suatu fenomena asasi dalam kehidupan manusia.1
Namun, perlu diingat bahwa pendidikan itu tidak bisa dipandang dan diartikan secara sempit, hanya terbatas pada pendidikan formal di sekolah saja, yang seringkali terjadi dalam kenyataan. Melainkan pendidikan itu harus disadari dan dipahami dalam arti yang luas, yakni “segala upaya masyarakat serta hasil-hasilnya yang bertujuan meneruskan dan menyediakan pengetahuan dan keterampilan, sikap dan pola tingkah laku yang perlu demi kelangsungan atau pun perubahan masyarakat itu, dengan menawar kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua orang demi perkembangan manusia seutuhnya.”2
Secara institusional, pendidikan memang dapat dilakukan dengan formal, informal dan non-formal, tapi ini hanya bersifat instrumental belaka, tidak substantif. Substansi pendidikan terletak pada prosesnya, yaitu bagaimana proses pendidikan itu dijalankan sehingga orang-orang yang ada di dalam lembaga-lembaga itu mampu belajar secara terus-menerus di “sekolah besar” kehidupan nyata3 untuk mencapai aktualisasi diri secara penuh dalam kehidupan riil.
Dalam era milenium ketiga abad 21, secara tidak langsung, umat manusia terutama yang ada di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan dihadapkan pada keadaan atau situasi dunia global, yang menggambarkan bahwa dunia sekarang ini merupakan suatu dunia terbuka tanpa batas. Seakan-akan dunia menjadi sempit dan transparan. Semua peristiwa yang terjadi di suatu negara dapat disaksikan dengan mudah dan cepat di negara lain.4 Itulah realitas kehidupan yang dikenal dengan era globalisasi dan informasi.
Globalisasi pada dasarnya merupakan suatu fenomena perputaran barang, informasi dan leisure (rekreasi) secara global.5 Tidak ada sesuatu yang spektakuler dapat terjadi di era ini, kecuali persaingan bebas dan kompetisi bahkan mega kompetisi di seluruh dimensi kehidupan umat manusia. Manusia satu sama lainnya saling bersaing untuk menentukan eksistensi dirinya. Demikian juga negara atau bangsa, satu sama lainnya saling berlomba untuk mewujudkan dan mengekspresikan diri di panggung dunia internasional.
Mega kompetisi itu meniscayakan adanya kekuatan : intelektual, skill dan spiritual yang harus dibentuk oleh manusia atau masyarakat itu sendiri untuk mencapai suatu kehidupan yang berkualitas. Dan hanya pada kualitas itulah kemampuan bersaing di arena persaingan globalisasi bertumpu. Kesanggupan bersaing (dalam menghadapi dan memecahkan persoalan yang mungkin timbul) inilah salah satu harapan yang mesti termanifestasi dalam kehidupan generasi muda terdidik di masa-masa mendatang.
Mencermati tuntutan-tuntutan mutlak era globalisasi, yang di antaranya adalah berupa kemampuan umat manusia untuk bersaing, bersikap terbuka dan kesediaan hidup saling ketergantungan dengan pihak-pihak lain. Maka, secara tidak langsung, kondisi ini juga mendesak umat manusia khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, (selain kesanggupan bekerja sama), untuk sanggup menyiapkan diri menuju suatu kehidupan knowledge society, yaitu masyarakat akademik, masyarakat ilmiah dan rasional.
Asumsi dasar knowledge society ini memiliki persamaan sekaligus perbedaan mendasar dengan tesis masyarakat kapitalis. Dilihat dari segi bentuknya, keduanya nampak berbeda, tapi bila dipandang dari segi substansinya ada kemiripan (kalau tidak bisa dikatakan sama). Jika pada masyarakat kapitalis pihak yang paling berkuasa adalah pemilik modal dan orang-orang yang memiliki alat-alat produksi, maka dalam masyarakat knowledge society orang yang memiliki kekuatan penuh adalah orang yang paling menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang—memakai istilah Mastuhu—dikenal dengan sebutan educated person6 yang memiliki antusiasme dan kemampuan belajar yang maksimal. Di sinilah sisi perbedaan dari kedua masyarakat tersebut dapat diketahui. Sedangkan sisi persamaannya adalah terletak pada power yang dimiliki oleh masing-masing model masyarakat tersebut yang dalam kenyataan seringkali dijadikan sebagai kekuatan instrumental untuk mencapai tujuan eksistensinya. Hanya saja bentuk power itu yang berbeda. Jika power masyarakat kapitalis bertumpu pada kekuatan kapital dan alat-alat produks (material), maka mind atau pikiran (non material) adalah power yang dimiliki oleh masyarakat knowledge society.
Knowledge society merupakan bagian dari wacana kehidupan masyarakat global. Indonesia sebagai bangsa yang secara pasti akan turut bermain di pentas persaingan global, tidak boleh tidak, harus bisa juga mengikuti wacana itu melalui peningkatan mutu pendidikan,7 agar tidak menjadi bangsa yang termarjinal di hadapan bangsa-bangsa lain. Sebab knowledge society adalah suatu keniscayaan dalam menghadapi proses globalisasi, yang ditandai dengan persaingan keras itu.
Knowledge society pada dasarnya adalah suatu fenomena kehidupan umat manusia yang merupakan suatu proses yang lebih bersifat kultural daripada alamiah. Ini berarti, bahwa knowlede society sebagai proses budaya tentu saja tidak dengan sendirinya bisa berada, tetapi membutuhkan suatu proses belajar dan pendidikan. Dalam konteks ini pendidikan memiliki peranan penting, yang mutlak dilakukan oleh suatu negara (pemerintah) dengan jalan, misalnya, menyediakan sarana dan prasarana serta anggaran pendidikan yang cukup untuk membentuk dan mewujudkan knowledge society tersebut.
Realitas
Di Indonesia, gejala knowledge society mungkin bisa dikatakan belum sepenuhnya ada pada masyarakat secara keseluruhan. Paling hanya terdapat pada masyarakat perkotaan saja, tidak (belum) pada masyarakat pedesaan. Hal ini nampak dari sistem pengetahuan dan komunikasi masyarakat desa yang sebagian besar masih menyandarkan diri pada sistem oral bukan sistem media.8 Padahal, sebagian besar bangsa ini terdiri dari masyarakat desa, yang tingkat pendidikannya relatif masih rendah dan bahkan ada yang tak berpendidikan sama sekali.
Keadaan tersebut, secara tidak langsung, menggambarkan bahwa proses-proses pembangunan yang terjadi di tanah air selama ini belum menyentuh sepenuhnya pada masyarakat lapisan bawah (grass roots). Wajar kiranya bila kemajuan seluruh aspek kehidupan masyarakat di negeri ini menjadi terhambat. Karena semua itu tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dan representatif dalam pengelolaan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya di sektor pendidikan dan kebudayaan. Hal ini terlihat pada institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi yang handal sebagai agen of change terkonsentrasi di kota-kota besar dan di pulau Jawa saja, yang sekaligus membuat para intelektual terpusat di tempat-tempat tertentu. Akibatnya masyarakat pedesaan, hingga kini, terpinggirkan dari proses-proses pembangunan, baik di bidang pendidikan, politik maupun ekonomi. Tidak seperti di Amerika Serikat, yang secara sistematis disebar-luaskan secara berimbang di seluruh negeri. Di pantai Timur Amerika ada perguruan tinggi Harvard, MIT, Yale, Colombia. Di pantai Barat terdapat perguruan tinggi Stanford, Berkeley, UCLA. Di Utara ada University of Wisconsin dan di Selatan terdapat University of Texas.9
Dapat dikatakan bahwa bentuk dan sistem pengelolaan pendidikan yang realisatis ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kemajuan suatu bangsa. Misalnya, pada tahun 1999 Human Development Index Report melaporkan, bahwa tingkat kemajuan pendidikan Indonesia berada di urutan ke-105. Urutan ini jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan di kawasan Asia sekalipun. Singapura berada pada posisi ke-22, Brunei Darussalam (25), Malaysia (56), Thailand (67), Filipina (77), dan Sri Langka saja pada posisi ke-90.10 Bahkan pada tahun 2000 menunjukkan, bahwa peringkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia berada di peringkat ke-109, setingkat lebih rendah dibandingkan Vietnam. Peringkat Jepang nomor sembilan, Malaysia di urutan 61 dan Thailand di urutan 76. Demikian juga dalam hal daya saing, SDM Indonesia juga menduduki peringkat rendah, yakni peringkat ke-46, jauh di bawah Singapura dan Malaysia.11 Inilah kondisi obyektif yang menggambarkan bahwa daya saing bangsa ini di alam global sangat lemah.
Namun, cukup positif kiranya bila kondisi obyektif tersebut diletakkan dan dipandang sebagai titik tolak untuk melakukan suatu refleksi dalam rangka menemukan terobosan-terobosan dan pilihan-pilihan baru menuju kehidupan masa depan bangsa yang cemerlang.
Pandangan bahwa refleksi adalah suatu proses kerja filosofis yang melibatkan kontemplasi dan renungan mendalam. Sedangkan refleksi edukatif mengandung arti sebagai suatu “cara berpikir tentang masalah-masalah pendidikan yang melibatkan kemampuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang rasional dan untuk mengemban tanggung jawab mengenai pilihan-pilihan tersebut.”12
Sayang, diskursus pemikiran filosofis ini belum sepenuhnya menjadi bagian dari proses pendidikan di negeri ini. Buktinya, di Indonesia tidak pernah lahir seorang filsuf yang indigenous. Bahkan ada sebagian masyarakat memandang filsafat sebagai ilmu yang—bila dipelajari—dapat merusak jiwa seseorang, karena kajian ilmu filsafat bersifat mendalam, radikal dan reflektif. Mungkin karena sifat filsafat seperti inilah yang membuat sebagian masyarakat menerima ilmu filsafat secara negatif. Menolak filsafat sebagai ilmu yang mesti dipelajari dengan serius berarti menolak menjadi manusia kritis dan kreatif13 yang pada gilirannya akan menolak perubahan, yang sebagian besar banyak ditentukan oleh sikap kritis dan kreatif itu. Penolakan semacam ini adalah sebuah apologi terhadap status quo.
Dengan tidak adanya wacana pemikiran filosofis itu, maka dunia pendidikan menjadi “kurang peka”14 terhadap perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Indikasi yang bisa menjelaskan kondisi ini adalah realitas eksistensial pendidikan itu sendiri, yang konsistensinya masih belum bergeser dari posisinya sejak masa lampau, sekalipun dunia kerja telah berubah secara substansial.15 Akibatnya lembaga-lembaga pendidikan16 mengalami disorientasi, yakni kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah-tengah realitas sosial-budaya yang saat ini terjadi perubahan yang demikian cepat. Lembaga-lembaga pendidikan mengalami dilema antara keharusan mempertahankan jati dirinya dengan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar.17 Di sinilah kemampuan melakukan proses integrasi (bukan adaptasi),18 melalui proses dealektik antara “apa yang seharusnya” dengan “apa yang senyatanya,” antara cita/idealita dengan realita menjadi ujian berat bagi para pemikir, pengelola dan praktisi pendidikan di masa-masa yang akan datang.
Re-Oreintasi
Persoalan-persoalan pendidikan tersebut meniscayakan adanya semacam proses rethingking dan reformulasi sistem dan praktek pendidikan yang berkembang selama ini. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengembangan rancang-bangun dan metodologi pendidikan yang lebih kondusif dan representatif. Upaya ke arah itu, sekedar mengikuti Ivor Morrish, paling tidak ada dua hal fundamental yang perlu diperhatikan oleh para konseptor dan praktisi pendidikan, yaitu mengenai konsep ilmu pengetahuan dan aktivitas pendidik.19
Pertama, konsep ilmu pengetahuan. Jika dalam tradisi pemikiran Barat disebutkan, bahwa ilmu adalah untuk ilmu (cenderung bebas nilai),20 maka dalam tradisi pemikiran Timur ilmu bukan hanya untuk ilmu (tidak bebas nilai), melainkan ilmu adalah untuk yang “lain,” yaitu ilmu untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup manusia, bukan hanya secara individual, tetapi juga sosial.
Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, maka yang perlu diformulasikan kemudian adalah konsep ilmu-ilmu menurut pandangan tradisi sendiri, yaitu tradisi Timur yang memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai. Artinya ilmu pengetahuan itu bertalian (memiliki hubungan organik) dengan sesuatu yang lain,21 misalnya dengan masalah keimanan : spiritualitas dan moralitas. Tetapi, usaha seperti ini harus diikuti dengan sikap terbuka terhadap tradisi lain yang memiliki kepercayaan-kepercayaan yang sama sekali berbeda.22 Dengan cara seperti ini ilmu pengetahuan dapat bertumbuh-kembang lebih dinamis dan mampu memberikan pencerahan intelektual dan spiritual secara seimbang terhadap kehidupan umat manusia.
Bila konsep ini diterapkan dalam (epistemologi) pendidikan, maka gambaran yang akan diperoleh adalah bahwa pemikiran dikotomistik dalam dunia pendidikan mestinya tidak perlu terjadi yang dalam kenyataan seringkali terjadi “peruangan” yang tidak wajar. Misalnya, ruang dunia (cenderung dianggap sebagai ruang yang cocok) untuk ilmu pengetahuan/pendidikan umum dan ruang akhirat untuk ilmu pengetahuan/pendidikan agama.23
Kedua, aktivitas pendidik. Secara praktis, aktivitas ini berurusan dengan kegiatan seorang pendidik bersama anak didiknya di dalam kelas yang dapat disebut sebagai aktivitas pembelajaran. Secara definitif, aktivitas pembelajaran adalah suatu proses internalisasi sekaligus eksternalisasi nilai-nilai (pengetahuan, budaya dan religius) dalam diri manusia dengan menggunakan metodologi belajar tertentu. Dalam hal ini, metodologi menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran. Karenanya, metodologi yang “benar” dan “tepat”24 menjadi kebutuhan mutlak bagi keberhasilan proses pendidikan. Di sini muncul pertanyaan, metodologi seperti apakah yang dianggap “benar” dan “tepat” bagi proses pendidikan? Dan apa karakteristiknya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin dapat dijelaskan dengan mengetahui terlebih dahulu asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan/atau masyarakat. Ini berarti bahwa pengetahuan tentang konsep manusia dan/atau masyarakat muthlak diperlukan di dalam pendidikan. Sebab manusia dan/atau masyarakat adalah landasan ontologis dari praktek pendidikan itu sendiri.
Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah makhluk berakal-budi (dan berbudaya) yang—menurut Paulo Freire—tidak hanya ada di dalam dunia, tetapi juga ada bersama dengan dunia.25 Sebagai makhluk rasional, manusia mampu menjangkau hari kemarin, mengenal hari ini dan menemukan hari esok. Dan sebagai makhluk berbudaya, manusia mampu menciptakan sistem hidup, sistem tata sosial-kemasyarakatan dan sistem nilai, yaitu nilai-nilai religius, sosial dan kemanusiaan. Dengan kemampuan-kemampuan itu, dengan sendirinya, manusia dapat menyikapi self being sekaligus other being-nya secara kritis. Ketika sesuatu disikapi secara kritis, maka ia akan lebih dinamis, dan kedinamisan ini merupakan ciri khas eksistensial manusia. Ciri khas inilah, tidak boleh tidak, harus diperhatikan di dalam proses pendidikan Islam, termasuk dalam hal memilih dan menentukan metodologi belajar yang cocok.
Jika metodologi belajar yang berkembang dalam dunia pendidikan di tanah air saat ini, masih kurang memperhatikan sifat kedinamisan manusia itu dan/atau masih nampak “klasik” bercorak menghafal, mekanis, lebih mengutamakan pengayaan materi. Dengan kata lain, sistem pembelajaran pendidikan di negeri ini masih cenderung teacher oriented daripada student oriented. Maka, dalam era globalisasi saat ini, yang sangat menuntut adanya manusia yang cerdas, kritis dan kreatif, metodologi belajar yang berorientasi kepada manusia (studen oriented) itu, yang ditandai dengan memperhatikan : kebutuhan, bakat dan minat serta persoalan yang dihadapi oleh peserta didik menjadi keniscayaan.
Jadi, reorientasi metode pembelajaran dari model warisan ke pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari mekanis ke kreatif26 mutlak diperlukan. Atau secara epistemologis, mengikuti Fazlur Rahman, bahwa kecenderungan proses pendidikan yang berkembang selama ini terlalu menekankan pada pemprolehan pengetahuan dari pada pencarian dan penemuan pengetahuan,27 harus dibalikkan arahnya menjadi : proses pencarian dan penemuan pengetahuan (baru) dari pada pemperolehan pengetahuan. Sebab hanya dengan cara ini manusia bisa lebih kritis, kreatif dan produktif.
Pembalikan dan/atau pergeseran paradigma (paradigm shift) pemikiran, sistem, arah dan tujuan pendidikan seperti itu perlu diwujudkan ke dalam bentuk konkret praktek pendidikan, sehingga pendidikan bisa menemukan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang terus mengalami perkembangan dan perubahan. “Psikologi cukup banyak memberi penjelasan, bahwa apa yang menentukan kemajuan bukanlah jumlah pengalaman, melainkan refleksi atas pengalaman, yaitu kemampuan untuk mempelajari sesuatu dari pengalaman. Pengalaman memang sesuatu yang berlalu, tetapi yang tetap tinggal adalah maknanya, yang baru muncul kalau seseorang sanggup melakukan sintesis berbagai peristiwa dan menerjemahkan menjadi suatu idea, pengertian atau gagasan yang senantiasa dapat dipegangnya.”28
Penutup
Membangun sebuah pendidikan yang benar-benar memiliki jangkauan jauh ke depan dan mampu melahirkan manusia-manusia yang berdaya-saing di alam percaturan dunia global memang bukan suatu pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, ini membutuhkan suatu komitmen dan keberanian para konseptor, pengelola dan praktisi pendidikan untuk bereksperimen mengambil langkah-langkah inovatif meskipun pada tahap awal mungkin akan menemukan batu sandungan trial and error.
Langkah-langkah inovatif, tidak boleh tidak, harus menjadi bagian integral dalam proses pendidikan. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah bagian dari proses kebudayaan yang lebih banyak berurusan dengan kreativitas daripada status quo. Apalagi dalam era globalisasi yang terjadi saat ini di mana setiap orang atau bangsa harus berhadapan dengan sistem kehidupan multilanguage, multietnis, multikultural dan multireligius yang ditandai dengan perlunya sikap terbuka dan hidup saling ketergantungan satu sama yang lain.
Memang, pendidikan bangsa ini harus dirumuskan dan dilaksanakan sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, misalnya dengan cara “menyesuaikan diri” secara kritis. Kritis dalam arti bahwa seseorang mampu “mendekati” sekaligus “mengambil jarak” (dalam usaha merumuskan pendidikan yang sesuai) dengan situasi dan kondisi aktual. Tanpa sikap seperti ini kemungkinan besar akan terjadi proses pendidikan yang tidak mencerminkan identitas diri. Indonesia sebagai bangsa yang memiliki identitas diri barangkali merupakan suatu kenistaan, bila identitas diri itu terkikis sedikit demi sedikit bahkan lenyap sama sekali karena hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan pengembangan diri tersebut. Jika demikian halnya, maka ini berarti bukan suatu kemajuan, melainkan sesuatu kehancuran, yaitu kehancuran akan identitas diri suatu bangsa yang mestinya dijaga dan ditata-kelola sebaik mungkin.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, maka pembangunan dan pengembangan pemikiran dan sistem pendidikan di negeri ini—dalam situasi kekinian dan kedisinian—harus berakar pada identitas diri itu. Yakni, dengan cara menumbuh-kembangkan pendidikan yang bersandar kepada falsafah dan budaya sendiri, tanpa harus jatuh kepada sikap eksklusif absolut.

*Mudda’i adalah alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat : Tanggulun, Montorna, Pasongsongan, Sumenep, Madura 69457. Karya tulis ilmiahnya pernah memperoleh penghargaan dari berbagai instansi, antara lain : (1) Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah (selanjutnya disingkat LKTI) untuk santri se-pondok Pesantren Annuqayah-Nirmala, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, 1993. (2) Pemenang I LKTI untuk mahasiswa se-Jawa Tengah, oleh HMJ PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga (selanjutnya disingkat IAIN Suka) Yogyakarta, 1999. (3) Peraih juara Favorit LKTI umtuk mahasiswa se-Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disingkat DIY), oleh HMJ SPI Fakultas Adab IAIN Suka, 1999. (4) Juara harapan I LKTI untuk mahasiswa se-DIY, oleh IAIN Suka, 2000. (5) Pemenang I LKTI untuk mahasiswa se-DIY, oleh komisariat IMM Fakultas Tarbiyah IAIN Suka, 2002. Nomor Rekening : 083.001143487.905 Bank BNI Cabang Sumenep, Madura, a.n. Mudda’i.

 

Back To Daftar Isi

KOLOM

KURIKULUM KAUM TERPENJARA

Oleh Ilung S. Enha*)

Entahlah, kenapa sepanjang zaman perempuan selalu jadi urusan. Mulai dari penyelundupan para pelacur di abad-abad peperangan, hingga merebak ke persoalan TKW dan wanita karir. Dari persoalan gender yang menghasilkan persentase di kursi dewan dan lembaga eksekutif, sampai pada persamaan di bidang hukum dan Hak Azasi Perempuan. Di ruang-ruang agama, juga pernah diramaikan oleh problematika fiqh perempuan.
Kini, di dunia edukasi, timbul pula gagasan latah-latahan; Pendidikan Kaum Perempuan. Yang melatarbelakanginya, tentu anggapan bahwa mereka merupakan kaum yang tertinggal, terbelakang sekaligus tertindas. Padahal tradisilah yang menggiring mereka hingga terjungkal ke lobang masyarakat yang nomer kesekian. Jeratan jeruji kultural itulah yang membuat wanita selalu sibuk berkutat dari persoalan dapur dan kasur.
Di Jawa misalnya, perempuan dibingkai sebagai klangenan (hiburan). Mereka disejajarkan dengan kukila (burung yang berkicau) dan turangga (kuda tunggangan). Di daerah-daerah lainnya, juga tak jauh beda. Kaum hawa itu diposisikan sebagai pusaka yang harus dirawat sebaik mungkin dan ditempatkan pada wadah yang teramat agung. Meskipun tetap saja, sebagai objek kaum lelaki. Tafsir keberagamaan kita pun, juga masih tak bisa melepas bias kultural tersebut. Sehingga dari fatwa para alim itu, kita masih kerapkali mendengar bahwa perempuan termasuk satu dari tiga ujian hidup yang utama; harta, tahta dan wanita.
Tetapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin kita mendaur-ulangnya hingga menjadi beras kembali. Namun apa pun bentuk gagasan terhadap kaum perempuan, yang terpenting bagaimana kita dapat menjebol tembok penjara objek. Apalagi secara kodrati, perempuan itu adalah merupakan subjek pendidikan. Maka tak usah berharap ada lelaki yang sanggup menjadi pembina play group dan guru TK. Pepatah Arab bilang, ibu itu madarasah bagi anak-anaknya. Rumah yang tanpa ibu akan membuat mereka menjadi anak-anak kost-kostan  meminjam istilah Inggris cuma jadi house, tak menjadi home.
Maka tak ada salahnya dimunculkan ide kurikulum khusus, yang tak sampai menjebol mereka dari area domestik. Sejauh-jauh melang-lang buana di area publik, mereka harus pulang kembali ke ranah domestik. Jangan serahkan rumah tangga sepenuhnya pada kaum lelaki. Sebab terbukti tatkala menjadi duda, bukan anak-anak yang mereka pikirkan, melainkan bagaimana dapat menggaet istri kembali. Sedangkan para wanita tak sedikit yang rela menjada, demi masa depan anak-anaknya.
Maka kaum perempuan sangat membutuhkan penguasaan psikologi anak dan psikologi yang khas wanita. Dengan itu mereka akan dapat mendidik putra-putri mereka, minimal dapat mendidik diri sendiri. Juga matematika dan ilmu ekonomi yang sangat mereka butuhkan. Setidaknya, kaum hawa itu tak jadi makhluk yang konsumeris dan hedonis. Atau paling tidak, mereka akan pintar memenej uang belanja dan mengkalkulasi hutang rumah tangga.
Jika mungkin, perlu diadakan komputerisasi khusus buat ibu-ibu rumah tangga. Di samping untuk memandang luasnya padang kehidupan di luar jendela, mereka juga bisa berkomunikasi dengan dunia luar via internet. Seperti di Jepang, ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki karyawan seribu orang, tetapi mereka tak saling ketemu. Produk tersebut dikerjakan di rumah karyawan masing-masing, sedangkan ibu itu hanya memenejnya dari rumah sambil mengganti popok bayi.
Dan jangan lupa, motivasi kaum wanita itu dengan penguasaan bahasa  minimal Inggris dan bahasa Arab. Dengan begitu mereka akan dapat mendidik putra-putrinya, hingga kelak dapat menjadi warga kelas dunia. Bahasa Inggris akan sangat membantu mereka guna meraup gemerlapnya ilmu pengetahuan. Dan bahasa Arab sangat memudahkan mereka untuk menggali jernihnya mata air agama.
Oh, ya satu lagi: tancapkan aqidah di dasar hati mereka, bahwa Allah senantiasa berperan dalam setiap detak langkahnya. Sebab kalau perempuan sudah tak mengingat Tuhan, apa saja bisa dijual  termasuk dirinya sendiri. Dan itu akan sangat berakibat fatal bagi keluarga, para tetangga dan lingkungan sosialnya. Padahal wanita itu tiang negara; kalau sudah tiangnya ambruk, maka bangunannya tentu saja akan berantakan pula.
Sungguh, hanya bangsa yang agung, yang bisa menghargai kaum wanita!

*)Penulis buku “Mencari Tuhan di Warung Kopi; Meraih Cinta Tanpa Guru”

 

Back To Daftar Isi

Pemberdayaan, Pendidikan dan Perempuan

Oleh: Rusliy KM

Tiba-tiba ketawa saya lepas, ketika seorang mahasiswi menangis sesenggukan di hadapan kami berdua. Menurut pengakuannya ia diperkosa pacarnya di sebuah hotel berbintang di sebuah kota dingin di Malang. Ia tidak tahu, sekonyong-konyong ia tidak berdaya ketika sang kekasih memaksanya. Teman saya terheran-heran dan bertanya, kenapa Anda menertawakan orang yang kena musibah. Menurutnya, korban pelecehan seksual patut dikasihani, diayomi bahkan kalau perlu disusun undang-undang yang secara legal mampu melindungi kaum perempuan.
Kasus yang hampir sama juga terjadi pada seorang siswi sekolah tertentu yang sempat heboh beberapa waktu lalu di daerah ini. Pengakuannya, ia tidak berdaya ketika harus jatuh pada pelukan seorang gurunya. Sebuah keniscyaan, setiap persoalan seks selalu melibatkan perempuan dan melemahkan posisinya. Anehnya, dalam era global semacam ini hampir setiap “pejantan” yang mendengar maupun yang terlibat dalam persoalan tersebut menganggap sebagai hal biasa dan dianggap sebagai tradisi.
Apa pun, ini adalah gambaran persoalan perempuan. Kita tentu tidak bisa menyalahkan. Kondisi mereka dan kasus yang selalu melibatkan kaum perempuan tidak lepas dari campur tangan jahil laki-laki dan kelemahan perempuan itu sendiri, walaupun hal itu sebenarnya diciptakan. Setidaknya, ketawa lepas saya pada kasus yang pertama mengindikasikan hal tersebut. Saya memandang itu sebagai mitos. Mitos melemahkan perempuan yang selama ini menganggap perempuan hanya sebagai bagian dari tulang rusuk laki-laki. Akibatnya pengeksploitasian, pembodohan merajalela. Mitos-mitos tersebut terus dipelihara dan dibiarkan membatasi gerak luas perempuan hampir di setiap sektor.
Kedua kasus di atas, setidaknya menurut pemahaman saya merupakan bukti kongkret dari penjabaran mitos tersebut. Dua perempuan dalam status sebagai kaum perempuan intelektual tidak berdaya dalam hegemoni kaum laki-laki. Tentu yang muncul dalam benak kita adalah pertanyaan besar tentang langkah pemberdayaan perempuan. Semua pihak tidak bisa cuci tangan atas hal ini. Karena memperbincangkan pemberdayaan perempuan secara otomatis membincangkan pendidikan mereka. Lalu pertanyaan yang kedua akan muncul “Seperti apa profil pendidikan perempuan?”
Saya masih ingat, dalam pendidikan formal ketika di SMP atau di SPG, guru (laki-laki) biologi menjelaskan tentang alat reproduksi. Sekarang ini saya baru sadar bahwa saya telah mendapatkan pendidikan seks. Pada waktu itu, lengkap dengan slide yang diproyeksikan ke layar sekitar satu meter persegi (menurut perkiraan saya). Dan itu adalah foto vagina yang terkena infeksi penyakit kelamin. Melepuh dan berbintil. Mata siswa (laki-laki) memelototi gambar tersebut. Sedangkan kelompok siswi (perempuan) tersipu-sipu malu. Tertawa cekikikan muncul dari mulut teman-teman saya laki-laki. Termasuk saya juga. Mungkin dari mulut guru saya juga, tapi agak ditahan. Dan hanya itu yang saya ingat sampai sekarang. Barangkali karena lucu, di samping karena puas seolah-olah telah menelanjangi teman-teman saya yang perempuan. Ketika saat ini saya menjadi seorang pengajar peristiwa-peristiwa semacam itu tampak masih berkelanjutan, baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan pelajar. Sepertinya sebagai warisan.
Peristiwa semacam itu disadari atau tidak telah melahirkan dikotomi. Ada ruang laki-laki, ada ruang perempuan. Sering kita temukan keluhan para pelajar putri maupun mahasiswi yang selama ini diperlakukan kurang adil dalam dunia pendidikan. Hak-haknya dikurangi dan selalu dianggap lemah. Telah terjadi proses pembodohan terhadap kaum perempuan walaupun hal itu dilakukan kadangkala secara tidak langsung. Akibatnya, kaum perempuan hanya duduk sebagai peserta, mendengarkan lalu kemudian dijemput pulang untuk dinikahkan. Bagi nasibnya yang malang ia harus ikhlas menjadi korban poligami. Dasar argumentasi yang digunakan adalah seorang istri haruslah mengabdi pada seorang suami. Yang keblinger tidak jarang mereka dimanipulasi dan eksploitasi untuk kepentingan dan keuntungan kaum laki-laki. Kuping saya sering menyadap kasus-kasus seperti ini terjadi di lingkungan pesantren atau sekolah-sekolah pinggiran yang jauh dari kontrol dan pengawasan.
Padahal dalam rekomendasi umum nomor 19 yang dikelurkan Komite PBB tahun 1992 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dimana disebutkan dalam pasal 2F, 5 dan 10C ayat 11 tentang sikap-sikap tradisional dimana perempuan dianggap subordinasi laki-laki dan seterusnya, dan juga pasal 12 yang menrangkan bahwa sikap-sikap ini juga mengakibatkan berkembangnya pornografi, penggambaran dan eksploitasi komersial lainnya atas perempuan sebagai objek seksual daripada sebagai individu-individu, sebenarnya telah menyarankan kesetaraan gender.
Dalam pemahaman saya kesetaraan gender tidak cukup hanya diomongkan, diseminarkan, didiskusikan, disimposiumkan (yang ternyata lebih banyak menguntungkan kaum laki-laki), tetapi dimanifestasikan dalam bentuk gerakan dan tindakan (action). Dalam dunia pendidikan, perempuan kiranya perlu menjadi pioner di semua kelas dan jenjang yang mampu menempatkan diri sejajar dengan laki-laki. Pemeloporan ini perlu dioptimalkan terutama di daerah-daerah pinggiran, pelosok desa yang selama ini tidak mampu membangun kekuatannya sendiri.
Saya menemukan bukti kongkret ketidakberdayaan perempuan di daerah pinggiran setelah ia mengakhir pendidikan di tingkat dasar. Bagi pemahaman sekian orang di kampungnya, bahwa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merupakan tindakan sia-sia yang hanya menghambur-hamburkan biaya. Lalu membuat pilihan bekerja di Saudi Arabia. Pilihan yang sangat tepat menurutnya. Namun karena tidak dibekali dengan kemampuan dan skill yang nyata akhirnya bekerjalah sebagai buruh. Pendidikan yang rendah membuat ia tidak bisa berbuat lebih dari yang ia inginkan. Justru sebaliknya, ia harus menerima kenyataan dan juga takdir Tuhan, karena ia harus pulang dengan kondisi perut hamil. Majikannya yang membuat ia sekali lagi tidak berdaya.
Dengan demikian, saya berpikir, bahwa pemberdayaan sekaligus penguatan pendidikan perempuan tidak cukup lewat slogan, penyuluhan dan apapun namanya. Kebangkitan perempuan harus direalisasikan melalui gerakan kolektif yang harus dikonstruksi melalui kebersamaan perempuan itu sendiri; membangun imajinasi sendiri, menyusun undang-undang sendiri, membuat peraturan sendiri, membuat pasal-pasal sendiri dan melakukan gerakan sendiri. Silahkan perempuan di depan, lanjutkan perjalanan. Perut saya mual-mual. Saya akan berhenti di sini, istirahat di sini, rebahan di sini, terlelap di sini, bermimpi tentang perempuan di sini dan bangun, lalu bersama-sama perempuan dari sini.

 

Back To Daftar Isi